Dalam Bab
I penulis telah membahas tentang definisi kepemimpinan sebagai satu keahlian
atau kecakapan untuk mempengaruhi orang lain dalam rangka pencapaian tujuan
yang diharapkan oleh pemimpin. Alkitab mencatatkan beberapa catatan penting
tentang kepemimpinan Yesus. Banyak orang yang hidup di zaman itu kagum melihat
kepridaian dan filosofi-filosofi yang diajarkan-Nya (Matius 7: 28-29), bahkan
orang yang tadinya menjadi penentang-Nya pada akhirnya menjadi imitating-Nya
(band. Kis 6:7; 8:1-3, 9:1-20). Kepemimpinan-Nya sungguh memberikan dampak luar
biasa dalam peradaban manusia. Ia menjadi inspirasi bagi pemimpin-pemimpin di
kemudian hari. Lincoln pemimpin besar Amerika pada era tahun 1800-an. Setiap
pemikiran, dan tindakannya dinafasi oleh filosofi yang diterimanya dari
pemimpin agungnya Yesus Kristus. Di akhir hayatnya, menteri Angkatan Bersenjata
Stanton berkata: “di sana terbaring lelaki paling sempurna yang pernah
ada di dunia.”[i]
Yesus
sebagai tokoh utama dalam makalah ini akan diteliti model kepemimpinan-Nya berdasarkan
ilmu kepemimpinan modern.
Model-model Kepemimpinan
Perkembangan
pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai model-model kepemimpinan yang ada dalam
literatur membagi model-model kepemimpinan menjadi :
1.
Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada
umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak
individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan,
kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul,
status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960,[ii]
Stogdill 1974[iii]).
Hingga
tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi
watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari
studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak
dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikansinya
sangat rendah.[iv]
Bukti-bukti yang ada menyarankan "leadership
is a relation that exists between persons in a social situation, and that
persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in
other situation".[v]
2.
Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model
kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan
fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan.
Studi-studi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi
karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat
seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif
dan efisien. Model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya,
bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Hoy
dan Miskel menyatakan terdapat empat
faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the
organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational
climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics).[vi] Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena
kepemimpinan dibandingkan dengan model
terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model
ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif
dalam situasi tertentu.
3.
Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model
kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah
laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur
kelembagaan (initiating structure)
dan konsiderasi (consideration).
Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin
mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan
organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan
kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan
organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat
hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin
memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya
kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi
kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan
adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah,
partisipasi dan hubungan manusiawi (human
relations).
Halpin pada
tahun 1966 [vii]
dan Blake and Mouton pada tahun 1985[viii]
menyatakan tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja
yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang
efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat
terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling
percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara
ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif
adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia
sekaligus dalam organisasinya.
4.
Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi
kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara
karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel
situasional. Model kepemimpinan ini memfokuskan perhatian yang lebih luas,
yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan
watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987). Model
kepemimpinan ini dikenal juga sebagai model kepemimpinan Fiedler (1967) karena
model tersebut beranggapan, kontribusi pemimpin terhadap keefektifan kinerja
kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation)
yang dihadapinya.[ix]
Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan
ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Faktor-faktor
tersebut adalah :
a.
Hubungan
antara pemimpin dan bawahan (leader-member
relations),
b.
Struktur
tugas (the task structure),
dan
c.
Kekuatan
posisi (position power).
Hubungan
antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi
didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut
dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.
Kekuatan
posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki
oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan
rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka
masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin
(misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan,
promosi dan penurunan pangkat (demotions).
Model
kontingensi yang lain, Path-Goal
Theory, berpendapat keefektifan pemimpin ditentukan oleh interaksi
antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi.[x]
Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok:
a.
supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan
bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat),
b.
directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai
dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada),
c.
participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan
keputusan) dan
d.
achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang
dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
Menurut Path-Goal Theory, dua variabel
situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik
pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti
misalnya peraturan dan prosedur yang ada.
5.
Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational
Leadership)
Model
kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam
studi-studi kepemimpinan. Burns merupakan salah satu penggagas yang secara
eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional.[xi]
Burns menyatakan model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan
seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggung jawab
mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan
mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui
kredibilitas pemimpinnya.
Hater
dan Bass menyatakan "the dynamic
of transformational leadership involve strong personal identification with the
leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the
self-interest exchange of rewards for compliance." Dalam
buku mereka yang berjudul "Improving
Organizational Effectiveness through Transformational Leadership,"[xii] Bass dan Avolio mengemukakan bahwa
kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's"[xiii]
antara lain:
- Idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
- Inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.
- Intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
- Individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir.
Walaupun
penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa
hasil penelitian mendukung validitasnya.
Beberapa
ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan
transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai
visi (visionary).
Berdasarkan
kepada penjelasan model-model kepemimpinan modern tadi, kepemimpinan Yesus
masuk model kepemimpinan nomor tiga sampai dengan nomor lima. Ditinjau dari
sisi kaca mata kepemimpinan Kristen, kepemimpinan Yesus dapat digolongkan
sebagai kepemimpinan hamba. Beberapa pemikir kepemimpinan Kristen mencoba mengangkat
tulisan rasul Yohanes perihal model ini.
Pada waktu
Yesus melakukan pembasuhan kaki tersebut, Ia menegaskan definisi pemimpin yang
Alkitabiah (band. Yoh. 13:16; Mat 10:24-25;Luk 6: 40). Matius Henry menyatakan:
Christ reminds them of their place as his servants; they were not better
men than their Master, and what was consistent with his dignity was much more
consistent with theirs. If he was humble and condescending, it ill became them
to be proud and assuming.[xiv]
Yesus
melakukan tindakan tersebut untuk memberikan satu contoh kepada murid-murid.
Yesus datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani, dan untuk memberikan
nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (Mar 10:45). Penegasan senada sering kali diucapkan Yesus
kepada para murid (Mat 17: 22-23;
Mark 9: 30-32; Luk 9: 43-45).
Bagi Yesus, kepemimpinan adalah
satu komitmen untuk melayani. Blanchard
mengemukakan inilah kepemimpinan yang benar dan efektif.[xv]
Kepemimpinan hamba adalah kepemimpinan yang dijalankan dengan mengutamakan
kepentingan orang lain dibandingkan kesenangan pribadi. Yesus pernah menyatakan
kepada para murid, bagaimana seharusnya seorang pemimpin hamba menyikapi
posisinya. Seorang pemimpin hamba, setelah melaksanakan tugasnya tidak memiliki
hak untuk meninggikan diri atau berpuas diri dengan hasil yang telah
didapatkannya. Dia tidak memiliki hak untuk mengharapkan penghargaan dari siapa
pun, kecuali hanya melakukannya karena demikianlah harusnya terjadi(Luk 17:
7-10). Itulah hakikat kepemimpinan hamba, yaitu melayani (Mark 10:44).
YESUS DAN TIM-NYA
Misi dan Visi kepemimpinan Yesus
Beberapa
waktu sebelum peristiwa pembasuhan, terjadi kesalah-pahaman di antara para
murid. (band. Mat 20: 10-28; Mark 10:35-45). Kesalah-pahaman itu dilatar
belakangi oleh permintaan ibu Yakobus dan Yohanes (versi Matius), atau
permintaan Yakobus dan Yohanes (versi Markus). Kesalah-pahaman itu menimbulkan
kemarahan di antara murid-murid Yesus (Mark 10: 41). Murid-murid kepemimpinan
tersebut berlangsung,
Kepemimpinan yang digerakkan oleh visi.
Metode Yesus Mengembangkan Tim-Nya
1.
Rekruitmen
Dalam
dunia modern, setiap instansi yang ingin mengalami terobosan harus melakukan
rekruitmen. Mengingat persaingan yang sangat ketat, instansi dengan visi dan
misi yang ada padanya harus menyiasati persaingan tersebut dengan berbagai
cara, termasuk dengan menambah para pelaksana di lapangan. Dalam dunia yang
natural berlaku hukum-hukum naturalis, dimana ada saat memulai segala sesuatu,
dan ada saat untuk mengakhirinya (Pengkhotbah 3:1-8).
a.
Rekruitmen
salah satu sarana untuk mendapatkan members, atau employees.
b.
Rekruitmen
menuntut persyaratan-persyaratan yang jelas.
di
media terkenal kompas d
Yesus
melakukan rekruitmen dengan cara yang sangat tidak wajar menurut teori
management, dan atau ilmu kepemimpinan modern. Misi penyelamatan dunia yang
diterima-Nya dari Bapa-Nya, hanya berlangsung dalam waktu yang singkat, dan
setelah itu ia harus kembali ke surga. Pertanyaannya siapakah yang akan
melanjutkan misi itu di kemudian hari?
2.
Training
3.
Empowering
dan Delegating
John
dan Dornan dalam buku “Becoming a Person of Influence”
mengemukakan: “Ketika Anda menjadi seorang yang memperlengkapi, Anda bekerja
dengan dan melalui orang lain, tetapi Anda berbuat jauh lebih banyak lagi. Anda
memampukan orang lain mencapai tingkat tertinggi dalam perkembangan pribadi,
dan profesional mereka.[xvi]
a.
Trusting,
Empowering dalam kepemimpinan tim melibatkan trusting. Setelah Yesus mentraining
murid-murid-Nya selama tiga tahun pelayanan-Nya, selanjutnya Ia mendelegasikan
tugas pemberitaan Injil kepada mereka.
b.
Authority.
Pakar kepemimpinan Fred Smith memberikan jawaban untuk pertanyaan: “Siapa yang
dapat memberikan izin untuk orang lain berhasil? Orang yang berotoritas.[xvii]
[i]
Careneige, Dale, How to win friends and
influence people, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1993), hal 6.
[ii] Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and
Organizational Behavior, Harper and Brothers, New York.
[iii] Stogdill, R.M., 1974, Handbook of Leadership: A Survey
of Theory and Research, The Free Press, New
York.
[iv]
Stogdill,
R.M., 1970, 'Personal factors associated with leadership: a survey of
literature', in C.A. Gibb (ed.), Leadership: Selected Readings, Pinguin,
Harmondsworth.
[v]
Ibid.
[vi]
Hoy, W.K. and
Miskel, C.G., 1987, Educational Administration: Theory, Research and
Practice, Third Edition, Random House, New York.
[viii] Blake, R.R. and Mouton, J.S., 1985, The Managerial
Grid III, Gulf Publishing Company, Houston.
[x] House, R.J., 1971, 'A path goal theory effectiveness',
Administration Science Quarterly 16, 321-38.
[xii] Hater, J.J. and Bass, B., 1988, 'Supervisors'
evaluations and and subordinates' perceptions of
transformational
and transactional leadership', Journal of Applied Psychology 73,
695-702.
[xiii] Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994, Improving
Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.
[xv]
Blanchard, Ken, & Hodges, Phil, Lead Like Jesus, (Tagerang: Visimedia,
2006), hal 16.
[xvi]
Maxwell, John C., & Dornan, Jim, Becoming a Person of Influence,
(Jakarta: Harvest Publishing House, 1987), hal. 184.
[xvii]
Maxwell, John C., & Dornan, Jim, hal. 185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar