PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dari waktu ke waktu kepemimpinan
menjadi perhatian manusia. Kepemimpinan dibutuhkan karena adanya keterbatasan
dan kelebihan-kelebihan dalam diri manusia. Sejarah umat manusia memperlihatkan
kepada kita tentang keberadaannya yang hidup berkelompok. Oleh karena itu,
manusia sudah tidak asing dengan kepemimpinan. Kebutuhan akan kepemimpinan yang
tepat pada zaman dan konteksnya semakin mendesak. Kepemimpinan yang demikian
membutuhkan prasyarat-prasyarat yang khusus pula.
Kepemimpinan atau gaya memimpin
seorang pemimpin merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan umat manusia yang dipimpin. Kepemimpinan merupakan faktor penentu
berhasil tidaknya tujuan-tujuan di dalam setiap komunitas.
John Maxwel mengutip pernyataan dari
James C. Georges dari ParTraining Corporation. James mendefinisikan
kepemimpinan sebagai kemampuan memperoleh pengikut.[i] Seorang pemimpin dituntut agar
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang agar mau mengakui
kepemimpinannya.
John C. Maxwell mengutip hasil
penelitian dari para sosiolog yang mengatakan : “bahkan yang paling tertutup
akan mempengaruhi sepuluh ribu orang lainnya dalam masa hidupnya.”[ii] Artinya pada dasarnya, setiap orang
dapat menjadi pemimpin. Apakah ia menjadi orang yang mempengaruhi orang lain ke
arah yang lebih benar, dan atau ke arah yang tidak benar.
Berikut ini beberapa definisi tentang
kepemimpinan, antara lain :
- A Leader is an individual who influences others to act toward a particular goal or end-state (Judith R. Gordon),[iii]
- Leadership is the ability to influence a group toward the achievement of goals (Stephen P.Robbins),[iv]
- Managerial Leadership is a process of directing and influencing the task-related activities of group (Ralph M. Stogdill).[v]
Berdasarkan definisi-definisi
tersebut, ternyata kepemimpinan tidak muncul secara kebetulan, dan atau dengan
cara instan. Kepemimpinan setiap orang dibentuk oleh berbagai aspek di masa
lalunya, termasuk aspek-aspek natural, dan juga supranatural. Kepemimpinan
sebagai satu keahlian dapat bertumbuh dari pengetahuan yang di dapat seumur
hidup manusia. Leksana TH, seorang Managing Partner, Strategic Solution Center,
mengemukakan :
Knowledge bisa diartikan
sebagai pengetahuanyang kita peroleh karena masuknya informasi ke otak kita.
Pengetahuan dapat disimpan sebagai memori. Secara garis besar ada dua jenis knowledge yaitu pengetahuan fakta – berupa informasi
yang kita terima sebagai kenyataan, dan pengetahuan eksperimental – yaitu
pemahaman yang kita peroleh berasal dari pengalaman kita. Knowledge is
Power when it is turned into action that produce result.[vi]
Kepemimpinan sebagai satu pengetahuan
dapat menjadi kepemimpinan yang nyata apabila setiap orang mengaktualisasikan
dalam satu tindakan memimpin. Kemampuan ini menolong setiap orang untuk
menjadikan dirinya terpimpin dan sekaligus memimpin. Artinya, bahwa setiap
orang harus mampu untuk memimpin dirinya terlebih dahulu dalam bidang-bidang
tertentu, barulah dia dapat memimpin orang lain kepada tujuan yang
diharapkannya di lakukan oleh orang-orang di sekitarnya.
Dalam makalah ini, penulis mencoba
mengangkat kepemimpinan dalam diri tokoh Yusuf. Tokoh ini adalah seorang tokoh
yang pertama-tama dicatat oleh Alkitab, kemudian tercatat dalam catatan sejarah
dunia (menurut catatan di lembar papirus kuno yang tersimpan di Museum Brooklyn[vii]), dan juga dicatat dalam kitab
Qur'an dalam surat Yusuf. Adanya catatan-catatan tentang tokoh ini ditinjau
dari fakta-fakta itu, membuatnya menarik untuk diteliti. Tokoh ini merupakan
satu tokoh yang unik, dia bukan hanya dikagumi oleh orang-orang Kristen, tetapi
juga oleh orang-orang beragama lain. Tokoh ini begitu banyak dibicarakan, karena
kisah hidupnya yang dramatis dan penuh dengan nilai-nilai moral dan etika.
Yusuf terlahir dari pasangan yang
saling mencintai, yakni Yakub dan Rahel. Yusuf lahir sebagai satu jawaban atas
pergumulan yang cukup lama. Yusuf merupakan anak laki-laki ke sebelas bagi
Yakub ayahnya (Kej 30:24; 35:24). Yakub sangat mengasihi dia melebihi
saudara-saudaranya (Kej 37: 3; 33: 2, 7). Namun, perlakuan istimewa yang
diterimanya dari Yakub ayahnya, tidak membuatnya menjadi seorang pribadi yang
malas. Yusuf sebagai seorang anak dalam asuhan orang tuanya menjalankan
kewajiban sebagai seorang anak, seperti saudara-saudaranya.
TUHAN membentuknya dengan cara-Nya
sendiri. Pembentukan TUHAN ini dapat dilihat dari beberapa persfektif, antara
lain:
1.
Dari
sisi kasih dan penerimaan. Yusuf mendapatkannya dari ayahnya. Alkitab berkata
bahwa Yakub ayahnya sangat mengasihinya. Hasil dari pembentukan ini membuatnya
menjadi seorang yang lembut hati, penuh kasih, dan pengampun, serta mengakar
dengan kokoh pada pokok-pokok iman yang benar.
2.
Dari
sisi kehidupan praktis di lingkungan yang keras. Pembentukan ini di dapatkannya
dari sikap dan tindakan saudara-saudaranya yang cukup keras kepadanya, bahkan
cenderung brutal. Pembentukan ini masih berlangsung ketika ia ada di Mesir; di
rumah potifar, dan juga di dalam rumah tahan raja. Hasil dari pembentukan ini
membuatnya menjadi seorang yang siap untuk menghadapi dunia nyata. Hal ini
jelas terlihat ketika TUHAN menempatkannya di Mesir, Yusuf tetap hidup sebagai Yusuf
yg takut akan TUHAN.
Setelah menjalani kedua proses itu, Yusuf masih tetap
dibentuk oleh TUHAN. Pembentukan itu benar-benar bermanfaat baginya. Kisah
hidup Yusuf diakhiri dengan perwujudan mimpinya sewaktu masih muda. Ia menjadi
seorang pemimpin dan sekaligus penyelamat bagi bangsa Mesir, dan khususnya bagi
bangsanya sendiri.
Batasan masalah
Mengingat kisah hidup tokoh Yusuf
mengandung banyak topik, maka dalam makalah ini penulis membatasi pokok masalah
pada akronim "LEADER dalam diri Yusuf."
Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode
deskriptif, artinya memberikan penjelasan dan penguraian tentang akronim
"LEADER dalam diri Yusuf." Untuk memperlengkapi data-datanya, penulis
mengumpulkan data-data teks dari dua sumber :
1.
Sumber
utama, yaitu dari Alkitab. Alkitab memuat rahasia-rahasia khusus yang
memampukan Yusuf menjadi seorang pemimpin dan penyelamat.
2.
Beberapa
sumber sekunder lainnya, yaitu dari buku-buku yang membahas tentang Yusuf, dan maupun
buku-buku yang membahas tentang komponen-komponen "LEADER", juga dari
browsing ke beberapa webside.
Sistematika Penulisan
Dalam rangka mencapai tujuan penulisan makalah ini, penulis
menuliskannya sebagai berikut ini :
Bab I merupakan informasi kepada
pembaca tentang permasalahan yang menarik perhatian penulis untuk memilih judul
"LEADER di dalam diri Yusuf." Dalam bab ini, penulis juga menerangkan
batasan masalah, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tentang huruf demi
huruf dalam kata “LEADER”
1.
"L"
dari Leader, yaitu Yusuf sebagai “Learner.” Dalam bab ini,
penulis menyoroti pribadi tokoh Yusuf sebagai seorang "learner"
dari tiga sisi, yaitu : tempat dan waktu belajar, kemampuan belajarnya dan
hasil pembelajaran tersebut.
2.
"E"
dari "LEADER" yaitu Yusuf sebagai seorang yang “exelent.” Dalam bab ini, penulis
menyoroti pribadi tokoh Yusuf sebagai seorang yang "ekselen."
Ekselensi ini terlihat dalam cara serta sikapnya melewati hari-hari
kehidupannya. Sekali pun ia dapat menghindar dari tuntutan-tuntutan yang
diharuskan dalam kehidupannya, namun ia senantiasa memberikan yang terbaik,
melebihi dari yang dapat diberikan oleh orang-orang di sekitarnya.
3.
"A"
dari "LEADER" yaitu “Attitude.” Dalam bab ini, penulis
menyoroti pribadi tokoh Yusuf sebagai seorang yang memiliki
"atitude." Untuk menjelaskan "atitude"ini,
penulis membaginya menjadi tiga sub bab, antara lain: Masalah-masalah Yusuf,
Respons Yusuf terhadap masalah, dan atitude Yusuf versus realita.
4.
D"
dari "LEADER" yaitu “dreamer” Dalam bab ini, penulis
menyoroti pribadi tokoh Yusuf sebagai seorang "dreamer."
Seorang pemimpin dikenal karena ia merupakan seorang "dreamer." Tanpa "dream" seorang
pemimpin hanyalah "pemimpin posisi," dan bukan "pemimpin
sejati." Yusuf dikenal sebagai "a good dreamer"
and "a good translate dream."
5.
"E"
dari "LEADER." Dalam bab ini, penulis menyoroti pribadi tokoh Yusuf
sebagai seorang "encourger." Bagaimanakah Yusuf
mempengaruhi orang-orang di sekitarnya? Dan bagaimana dampak dari
"encorage" yang diberikannya kepada setiap orang?
6.
"R"
dari "LEADER." Dalam bab ini, penulis menyoroti pribadi tokoh Yusuf
sebagai seorang yang responsible. Untuk menjelaskan ini, penulis mencoba
membaginya menjadi beberapa sub bab, antara lain : tanggung jawab Yusuf kepada orang
tuanya, di rumah Potifar, di penjara Mesir, dan di istana raja Firaun.
Bab III merupakan kesimpulan dari
semua komponen "LEADER" dalam diri Yusuf dan aplikasinya dalam
kepemimpinan masa kini.
Bab II.
UNSUR LEADER DI DALAM YUSUF
2.1. Yusuf Sebagai Learner
Setiap zaman dalam kehidupan manusia
memiliki masalahnya sendiri. Masalah-masalah itu dapat terjadi dalam seluruh
bidang kehidupannya. Semua masalah ini merupakan alat yang efektif di tangan
TUHAN untuk membentuk setiap orang menjadi seperti yang Dia inginkan bagi orang
tersebut. Dalam proses pembentukan itu, TUHAN kerap kali mempergunakan
perkara-perkara yang tidak menyenangkan. Karena dalam setiap perkara tersebut,
sebenarnya TUHAN sedang mengajarkan nilai-nilai kebenaran yang penting. Setiap
pelajaran tersebut berguna untuk memperlengkapi calon pemimpin tersebut di masa
depan. Peter M. Senge mengemukakan “Pembelajaran yang paling kuat berasal dari
pengalaman langsung.”[viii]
Yusuf
salah satu tokoh pemimpin yang dipersiapkan TUHAN. Dalam proses
persiapannya, TUHAN mengajarnya di tiga lingkungan yang berbeda satu dengan
lainnya. Pertama Yusuf belajar di
tengah-tengah keluarganya, kedua ia belajar di lingkungan rumah Potifar, dan
ketiga ia belajar di dalam penjara. Nilai-nilai apa saja yang dipelajari oleh
Yusuf di ketiga tempat tersebut:
A.
Yusuf Di Bawah Asuhan Yakub.
Keluarga merupakan
lembaga pertama yang dibuat oleh TUHAN. Keluarga tersebut terdiri dari Adam dan
Hawa. Tuhan menempatkan mereka di muka bumi ini untuk menggenapi tujuan-Nya,
yaitu untuk beranak cucu dan untuk mengusahakan bumi (Kej 1: 27-28). Oleh
karena itu, TUHAN membentuk keluarga itu pertama-tama terdiri dari Ayah,
Ibu, dan kemudian TUHAN membuatnya beregenerasi sehingga ada anak-anak di
dalamnya. Dalam kehidupan keluarga orang yang takut akan Allah, anak merupakan
berkat Tuhan yang harus di rawat, dipelihara, dan dicukupi segala kebutuhannya.
Yusuf tokoh utama dalam
makalah ini pertama-tama lahir, di besarkan, dan belajar tentang nilai-nilai
penting untuk kehidupannya di masa yang akan datang dimulai dari keluarganya.
Nama ayahnya adalah Yakub. Yakub ayahnya beristerikan dua orang, yaitu Lea dan
Rahel. Sebelum kelahirannya, telah lahir sepuluh orang anak dalam keluarga
ayahnya. Jadi Yusuf adalah anak
kesebelas dari dua belas saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Ia
lahir sebagai satu jawaban atas pergumulan hebat dari ibunya di hadapan TUHAN dan
manusia (Kej 30 : 1 - 24).
Pelajaran apa saja yang
dipelajari oleh Yusuf selama ia berada
di antara keluarganya?
1.
Kasih dan Penghargaan
Alkitab tidak menjelaskan berapa lama
Rahel ibunya hidup untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada Yusuf. Namun
menurut catatan Alkitab, Yusuf lahir dari seorang ibu yang sangat dikasihi oleh
Yakub ayahnya. Setelah ibunya meninggal dunia, ia di asuh oleh ayahnya dengan
penuh kasih. Penulis kitab Kejadian mencatat, ayahnya Yakub sangat mengasihinya
melebihi saudara-saudaranya yang lain. Kata “mengasihi” dalam nats ini, dalam
bahasa aslinya disebut sebagai “'akhab” yaitu satu bentuk ungkapan kasih
sayang seorang ayah kepada anaknya[ix] (bnd. Kej 37: 3-4).
Kasih sayang Yakub terhadap Yusuf
adalah kasih yang bersadar karena alasan terntentu, pertama-tama karena ia
adalah anak yang terlahir baginya dari Rahel di masa tuanya, dan ke dua karena
Yusuf seorang yang berperilaku lebih baik di bandingkan dengan
saudara-saudaranya. Kasih Yakub kepada Yusuf
terwujud nyata dalam bentuk kasih yang disertai dengan penerimaan dan
penghargaan.
Penerimaan yang diberikan Yakub
terhadap Yusuf terlihat dalam tindakannya untuk menerima segala keberadaan
Yusuf sebagai seorang manusia yang utuh. Sekali pun Yusuf memiliki keterbasan,
Yakub ayahnya tetap mengasihinya. Penghargaan yang berwujud nyata dalam bentuk
pemberian itu sangat penting dalam kehidupan setiap anak. Yusuf sebagai anak
yang telah bertindak benar, hidup jujur, dan tidak ikut dalam perbuatan jahat
saudara-saudaranya menerima penghargaan dari Yakub berupa hadiah jubah maha
Indah.
Sebagai seorang anak manusia, Yusuf
tidak jauh berbeda dengan anak manusia lainnya di muka bumi ini. Ia pun kadang
kala ingin di sanjung. Alkitab menyatakan kepada pembacanya bahwa Yusuf suka
memamerkan jubah maha indah pemberian ayahnya itu kepada saudara-saudaranya.
Kasih dan penghargaan yang
diterimanya dari Yakub memberikan dampak bagi dirinya. Kasih dan penghargaan
mengubah Yusuf menjadi seorang yang penuh kasih di masa depan. Sekali pun ia
mengalami tindakan-tindakan yang tidak layak dari banyak orang, ia tetap dapat
menunjukkan kasih kepada mereka.
2.
Tanggung Jawab Terhadap Tugas-tugasnya
Alkitab menyatakan bahwa
Yusuf adalah anak yang dikasihi oleh Yakub melebihi anak-anaknya yang
lain. Perlakuan khusus ayahnya kepada
dirinya tidak membuat Yusuf menjadi seorang yang manja, dan pemalas. Yusuf tidak memilih-milih pekerjaan. Apa pun tugas
yang dibebankan oleh Yakub kepadanya, ia siap untuk melaksanakannya. Penulis
kitab Kejadian mencatatkan; ketika Yusuf berusia tujuh belas tahun, ia suka
untuk mengembalakan domba-domba ayahnya bersama dengan saudara-saudaranya (Kej
37:2).
Yusuf terlatih menjadi
seorang yang bertanggung jawab atas tugas yang diterimanya. Ia tidak pernah
menyerah sekali pun ia mengetahui akan adanya rintangan besar di depannya.
Penulis kitab Kejadian menuliskan; suatu waktu pergilah saudara-saudaranya
mengembalakan kambing domba ayah mereka ke Sikhem. Kemudian Yakub menyuruhnya
pergi mencari tahu tentang keadaan
saudara-saudaranya itu. Menurut catatan Alkitab, Yakub menyuruhnya untuk
menemui mereka dengan menempuh perjalanan dari lembah Hebron ke Sikhem (Kej
37:12-17).
Berdasarkan data yang
diberikan oleh Alkitab terbitan LAI, jarak antara Hebron dengan Skihem apabila
ditarik garis lurus adalah sekitar ±100 km. Daerah tanah Kanaan terkenal dengan
daerahnya yang berbukit-bukit terjal, dan di sepanjang perjalanan yang
berbukit-bukit itu hidup binatang-binatang buas yang siap menghadangnya. Pada
waktu Yusuf tiba di Sikhem, ia tidak menemui mereka di situ. Yusuf berusaha
mencari mereka ke sumua tempat penggembalaan yang ada di Sikhem, tetapi ia
tidak juga menemukan mereka. Yusuf memang tidak menemui mereka di situ, tetapi
ia tetap berusaha untuk mencari mereka. Alkitab mencatat, Yusuf berjalan ke sana ke mari di padang, dan ia
bertemu dengan seorang laki-laki. Mungkin karena laki-laki tersebut melihatnya
begitu sibuk mencari-cari sesuatu dengan mimik wajah yang dipenuhi kecemasan,
lalu orang itu menanyakan kepada Yusuf: “Apakah yang kau cari?” Yusuf tidak
menyia-yiakan kesempatan yang ada. Ia segera mencari tahu kepada orang itu,
kemana kira-kira saudara-saudaranya pergi menggembalakan kambing domba mereka.
Dari hasil pencariannya itu, ia mendengar bahwa saudara-saudaranya telah pindah
ke tempat penggembalaan di Dotan.
John J. Davis menolong
penulis untuk menemukan data-data tentang daerah dotan ini. Menurut John, Dotan
adalah berada di antara Sikhem dan Samaria. Jarak antara Samaria dengan Dotan
kira-kira 12 mil di bagian Utara Samaria. 12 mil adalah setara dengan 19,1 km
ke utara Samaria. Samaria berada di di bagian utara Sikhem. Jarak antara Sikhem
dengan Samaria adalah sekitar 1,08 km. Ini berarti bahwa Yusuf harus menempuh
jarak jarak kira-kira 20 km lagi. Pekerjaan Yusuf yang sangat berat ini
menuntut satu kemauan yang keras. Apakah Yusuf menyerah? Jawabannya adalah
tidak. Berdasarkan catatan Alkitab, ternyata Yusuf tetap semangat untuk mencari
saudara-saudaranya sesuai dengan perintah ayah mereka kepadanya.
Di bagian sebelumnya,
Alkitab mencatat bahwa saudara-saudaranya saudara-saudaranya membencinya.
Kebencian saudara-saudaranya itu jelas terlihat dalam sikap dan perilaku
saudara-saudaranya yang selalu menyapanya dengan tidak ramah (Kej 37:4). Kebencian
mereka itu semakin nyata ketika Yusuf mendapatkan mimpi tentang menyabit gandum
di ladang. Dimana Yusuf menceritakan bahwa berkas-berkas gandum yang disabit
saudara-saudaranya itu ternyata bersembah sujud kepada berkas-berkas gandum
yang disabitnya. Alkitab menegaskan bahwa kebencian saudara-saudaranya itu
tidak berhenti sampai di situ. Beberapa waktu setelah mimpi yang pertama itu,
ternyata Yusuf kembali bermimpi. Dan di dalam mimpinya ia melihat bahwa ada
bulan, Matahari dan sebelas bintang,
sujud kepadanya.
Berdasarkan
catatan-catatan Alkitab tersebut, nyata bagi pembaca bahwa kebencian mereka
bukanlah kebencian yang biasa-biasa kepada Yusuf. Keadaan itu tidak menjadi
alasan bagi Yusuf untuk tidak melakukan tugas yang dibebankan ayah mereka
kepada dirinya. Dalam hal ini, Yusuf juga belajar tentang ketaatan sebagai
bagian dari wujud rasa tanggung jawabnya untuk melakukan tugas yang
dipercayakannya kepada dirinya.
3.
Optimisme
dan sifat pantang menyerah.
Dari kisah pencarian
Yusuf atas saudara-saudaranya ini tersirat satu proses pembelajaran untuk tetap
optimis menjalani hidup. Sekali pun berat tantangan dan rintangan yang harus di
lalui, ia tetap optimis. Optimisme adalah satu modal untuk dapat bertahan
hidup. Optimisme adalah satu tekat yang lahir dari dalam diri setiap orang.
Dengan sifat optimis setiap orang dapat menaruh harapan baik untuk mengakhiri
satu pertandingan dengan optimal.
Optimisme merupakan lawan
kata dari pesimisme. Orang yang optimis memiliki sudut pandang yang berbeda
dengan orang yang pesimis. Orang yang pesimis senantiasa melihat segala sesuatu
dari sudut pandang positif. Artinya bahwa ia seantiasa melihat peluang-peluang
yang masih ada di balik setiap masalah. Orang yang optimis ini cenderung dapat
di andalkan menjadi seorang pemimpin di masa depan. Berbeda dengan orang
pesimis. Orang pesimis biasanya memandang masalah sebagai sesuatu yang harus
dihindari, dan ia cenderung mudah menyerah apabila diperhadapkan dengan
masalah.
4.
Disiplin.
Disiplin adalah satu
bagian dari pembelajaran. Disiplin berasal dari bahasa Inggris, yaitu kata “disciple”
yang artinya menjadi murid.[x] Selama Yusuf berada di dalam asuhan
Yakub ayahnya, ia juga menerima teguran sebagai bentuk dari pendisiplinan yang
ditetapkan ayahnya baginya. Alkitab mencatatkan, ketika ia menceritakan
mimpinya dengan bersemangat di hadapan Ayah dan ibunya, serta
saudara-saudaranya, ia ditegor oleh Yakub.
Dalam peristiwa ini
seolah-olah tidak ada yang salah. Karena Yusuf sendiri sebenarnya tidak sengaja
untuk mengatakan itu untuk meninggikan dirinya, ini adalah wujud kepolosannya.
Namun, dari hasil perenungan penulis terhadap kisah ini, penulis menemukan
bahwa Yakub ingin agar Yusuf
berhati-hati dalam menyampaikan berita yang diketahuinya. Sekali pun
berita itu benar merupakan satu pernyataan Ilahi ke depan, namun sikap hormat
harus tetap menyertai penyampaian itu.
5.
Pengenalan
akan TUHAN, dan bagaimana mengaktualisasikannya dalam kehidupan praktis.
Alkitab mencatat bahwa
Ayah Yusuf adalah seorang yang memiliki pengenalan yang baik akan TUHAN
Allahnya. Hal ini tersirat dalam catatan-catatan berikut ini:
a.
Kejadian
32: 1-2; 22-30. Dalam peristiwa ini diceritakan bahwa Yakub ayahnya bertemu
dengan malaikat. Pertemuan pertama yang dikisahkan dalam ayat 1 dan 2 tidak di
catat bahwa Yakub ayahnya menahan malaikat tersebut dan juga tidak
menyuruh malaikat itu untuk
memberkatinya, karena Yakub ayahnya mengenali mereka sebagai malaikat
sungguhan. Namun berbeda dengan kisah pertemuannya dengan malaikat di ayat
22-30, kali ini ia tidak memngijinkan malaikat itu pergi meninggalkannya
sebelum malaikat tersebut memberikan berkat ke atasnya. Hal ini disebabkan
karena Yakub ayahnya mengenal malaikat itu sebagai Allah yang menyamar sebagai
malaikat (theofani).
b.
Yakub
suka memberikan persembahan kepada TUHAN Allah Israel (Kej 33:18-20; 35: 1)
c.
Yakub
taat kepada TUHAN Allah (Kej 35:1-15).
Di sini penulis kitab ini
dengan jelas mencatatkan : “Allah berfirman kepada Yakub: “Bersiaplah, pergilah
ke Betel, dan buatlah di situ mezbah bagi Allah, yang menampakkan diri
kepadamu, ketika engkau lari dari Esau, kakakmu” (Kej 35:1).
Satu pelajaran yang
menarik adalah nats ini menjelaskan bahwa Yakub tidak pergi sendiri, tetapi ia
dan semua keluarganya (termasuk Yusuf) turut serta beribadah dengan
mempersembahkan korban kepada TUHAN Allah (Kej 35: 2). Sebagai wujud ketaatan
itu, Yakub menekankan kepada semua anggota keluarganya agar mereka hanya
menyembah kepada Allah, dan tidak kepada dewa-dewa asing.
- Hidup Jujur dan tidak takut memperkatakan kebenaran, serta melindungi yang lemah.
Pada pasal yang ke 37 : 2
penulis kitab ini menceritakan sikap Yusuf ketika melihat kejahatan
saudara-saudaranya. Yusuf tidak
menutup-nutupi kejahatan saudara-saudaranya itu. Pada waktu ia dan
saudara-saudaranya itu pulang dari menggembalakan kambing domba ayah mereka, ia
menyampaikan kepada ayah mereka perihal kejahatan yang telah dilakukan
saudara-saudaranya itu.
Dalam nats aslinya,
perbuatan jahat dari saudara-saudaranya itu adalah “raah” yaitu
satu bentuk perbuatan jahat yang bersifat alamiah, dan juga bersifat moral.[xi] Menurut penulis, kemungkinan
saudara-saudara Yusuf tersebut melakukan kejahatan-kejahatan berikut ini :
mencuri milik orang lain, merusak milik orang lain, dan sebagainya. Dalam
perbuatan jahat saudara-saudaranya itu, ada kemungkinan bahwa Yusuf pun diajak
oleh saudara-saudaranya untuk ikut melakukannya. Melihat Yusuf tidak juga
menuruti ajakan mereka, ada kemungkinan mereka menyakiti Yusuf juga.
Sifat jujur dan keterus
terangan Yusuf dipertegas oleh catatan kitab ini di nats-nats berikutnya,
khususnya ketika ia hendak menceritakan mimpi-mimpinya. Berdasarkan
catatan-catatan tersebut, jelaslah bahwa Yusuf tidak kompromi atas kejahatan
saudara-saudaranya itu. Akibat dari tindakannya ini, Yakub ayahnya semakin
mengasihinya, tetapi ia dibenci saudara-saudaranya. Pelajaran yang dipetiknya
dari peristiwa ini adalah bahwa sikap jujur dan benar berbuahkan kasih dan
perlindungan dari Ayahnya.
Ted ward mengemukakan
dalam keluarga kita mengalami pengalaman-pengalaman dan belajar banyak tentang
nilai-nilai yang paling penting.[xii] Pengalaman-pengalaman Yusuf selama
berada di dalam asuhan orang tuanya menolongnya menjalani kehidupannya. Dimana
pun Yusuf berada, ia tetap hidup berdasarkan nilai-nilai tersebut.
B. Yusuf di Rumah Potifar Sebagai Budak.
Setelah melewati
masa-masa pembelajaran di bawah asuhan ayahnya, TUHAN membawanya ke satu tempat
yang jauh dari rumah ayahnya. Di tempat itu Yusuf diajar untuk mempraktekkan
nilai-nilai yang di dapatkannya selama berada di bawah asuhan ayahnya.
Pada tahap pembelajaran
yang ke dua ini, TUHAN membawanya masuk kepada satu situasi yang benar-benar
berbeda dengan situasi di lingkungan rumah ayahnya. Ada perbedaan yang sangat
signifikan yang harus alami oleh Yusuf. Perbedaan itu dapat dibuat dalam satu
tabel di bawah ini:
Yusuf
di rumah Ayahnya
|
Yusuf
di Rumah Potifar
|
·
Status sebagai anak dan sekaligus sebagai orang
merdeka
·
Bekerja sesuai dengan batasan yang normal.
·
Dihargai dan dikasihi
|
·
Status sebagai budak, dan
·
Harus bekerja siang dan malam
·
Diperlakukan sesuka hati tuannya
|
Perpindahan ke Tanah
Mesir ini dilatar belakangi oleh kebencian dari saudara-saudaranya. Kebencian
itu semakin hari menguasai hati dan pikiran saudara-saudaranya. Akibatnya,
ketika Yusuf menemui mereka di padang rumput Dotan, mereka bersepakat untuk
membunuhnya. Dan di dalam peristiwa itu, Allah menyelamatkan Yusuf dari rencana
jahat saudara-saudaranya dengan memakai kakaknya Ruben. Pada akhirnya Yusuf
dijual sebagai budak kepada kafilah Midian (Kej 37:25-28). Melalui kafilah
inilah Potifar membeli Yusuf dan mempekerjakannya sebagai budak di rumahnya
(Kej 39).
1.
Belajar kerendahan hati
Kerendahan hati merupakan
modal penting bagi setiap pemimpin. Kerendahan hati seorang pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinan bukan berarti tanpa wibawa, dan atau otoritas. Ada
satu kisah menarik dari kehidupan seorang Abraham Lincoln. Sebelum ia menjabat sebagai
seorang presiden, ia aktif di kemiliteran. Suatu waktu, ketika mereka sedang
dalam perjalanan ke medan pertempuran, ia menyamar sebagai orang biasa, dan
melewati kelompok pembawa perbekalan. Pada waktu itu, pemimpin peleton
perbekalan memberikan aba-aba kepada anggotanya mendorong gerobak yang sedang
terperosok ke dalam lubang. Melihat masalah itu, Abraham segera menghapiri regu
tersebut, dan kemudian memberikan instruksi dan bantuan tenaga untuk mendorong
gerobak tersebut. Setelah itu ia membuka penyamarannya. Melihat tindakan
Abraham yang memimpin dengan tindakan yang nyata, pemimpin pasukan malu.
Mengapa? Karena Abraham Lincoln adalah atasannya.
Kerendahan hati seorang
pemimpin menolongnya menjadi seorang pemimpin yang efektif. Pemimpin yang demikian
bukan hanya memberikan aba-aba, tetapi juga turut terlibat dalam memberikan
jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh orang-orang yang ada di bawah
kepemimpinannya. Inilah yang disebut sebagai pemimpin hamba.
TUHAN mempersiapkan Yusuf
menjadi seorang pemimpin hamba. Oleh karena itu TUHAN menuntunnya ke Mesir. Di
sini Yusuf menjadi seorang budak. Perubahan status ini menyebabkan banyak
perubahan dalam hidup Yusuf. Pada waktu ia masih berada di bawah asuhan
ayahnya, ia dapat saja menugaskan budak ayahnya untuk mengerjakan pekerjaan
terntentu. Di rumah Potifar, ia tidak mempunyai hak untuk menolak dan
menghibahkan tugas tertentu kepada orang lain. Sekarang ia bekerja atas
kehendak dan untuk tujuan orang lain yang telah membelinya. Ini tidak mudah,
harus belajar melepaskan haknya untuk menuntut dan memerintah.
2.
Belajar untuk bergantung kepada providensia Allah.
Perpindahan Yusuf ke
rumah Potifar sebagai seorang budak menyebabkan ia harus belajar bergantung
pada providensia Allah. Status sebagai seorang budak belian dapat diartikan
bahwa ia sudah tidak mungkin mendapatkan pertolongan dari pihak mana pun. Ia
harus bekerja sepenuh waktu sesuai dengan kehendak tuannya, dan sebagai budak
belian ia tidak mempunyai hak untuk menolak atas permintaan tuannya (band. Kej
16:2-3; 30: 3-13). Namun menurut catatan Kitab Kejadian 39, TUHAN Allah
memeliharakan dengan memberikan keberhasilan kepadanya, dan mengangkatnya
menjadi orang kepercayaan Potifar tuannya itu.
3.
Belajar bekerja dengan tanggung jawab yang lebih besar
Di rumah ini, Yusuf
bekerja sebagaimana layaknya seorang budak. Yusuf disertai Tuhan sehingga
segala sesuatu yang dikerjakannya berhasil. Potifar tuannya itu melihat bahwa
keberhasilan Yusuf adalah sebagai dampak penyertaan TUHAN Allah yang Yusuf
sembah (Kej 39:2). Karena itu Potifar sangat mengasihi dia, sehingga ia
diperkenankan melayani tuannya itu. Kepercayaan Potifar semakin
bertambah-tambah atasnya, dan menyerahkan segala miliknya pada kekuasaan Yusuf.
Apakah Yusuf menjadi
seorang yang besar kepala? Berdasarkan fakta-fakta yang dicatat dalam Alkitab,
Yusuf tidak berubah. Yusuf tetap hidup dalam takut akan TUHAN. Yusuf senantiasa
bergantung sepenuhnya kepada TUHAN. Hasilnya, TUHAN memberkati segala milik
Potifar.
4.
Belajar untuk bekerja pada batas-batas tanggung jawabnya.
Ada pepatah yang berbunyi
demikian: “Semakin tinggi satu pohon, semakin besar angin yang menggoncangnya.”
Ciputra mengemukakan “semakin tinggi bagunan, perlu pondasi yang makin dalam.”[xiii] Pada awal kehidupan Yusuf di rumah
Potifar, ia hanyalah budah biasa. Namun seiring dengan perjalanan waktu ia
mengalami peningkatan dari seorang budak biasa menjadi seorang kepercayaan dan
tinggal di rumah Potifar. Hari demi hari di menjalankan tugas tanggung jawabnya
dengan baik. Ketenangan bekerja sebagai orang kepercayaan di rumah tuannya
mulai berubah. Isteri tuannya yang melihat parasnya yang manis dan elok jatuh
hati kepadanya. Isteri tuannya itu menggodanya, serta memintanya untuk tidur
bersama serta bersetubuh.
Menanggapi ajakan isteri
tuannya itu, Yusuf mengatakan: “Dengan bantuanku tuanku itu tidak lagi mengatur
apa yang ada di rumah ini dan ia telah menyerahkan segala miliknya pada
kekuasaanku, bahkan di rumah ini ia tidak lebih besar kuasanya dari padaku, dan
tiada yang tidak diserahkannya kepadaku selain dari pada engkau, sebab engkau
isterinya” Yusuf tahu artinya bekerja pada batas-batas tanggung jawabnya.
5.
Belajar untuk tetap hidup dalam takut akan Allah.
Pada waktu isteri tuannya
menggoda Yusuf berkali-kali, Alkitab mencatat tanggapan Yusuf terhadap godaan
yang dilancarkan oleh isteri tuannya itu. Tuhan Allah mengijinkannya masuk
dalam situasi yang memaksanya untuk membuat satu pilihan. Yusuf memilih untuk
tidak megurus hal-hal yang diluar kendalinya (Kej 39: 8-9a). Ia tidak mempergunakan kesempatan yang
ada untuk kepentingannya sendiri sekali pun ia dapat saja memanfaatkan
kesempatan yang ada itu. Alkitab menegaskan bahwa isteri tuannya mengodanya
hari demi hari. Dan penegasan Alkitab tentang kemungkinan bagi Yusuf untuk
mengikuti keinginan isteri tuannya besar peluangnya (Kej 39: 11). Ia lebih
memilih untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kebenaran tentang takut akan TUHAN
dalam satu sikap yang teguh untuk menghormati TUHAN (Kej 39:11-20). Yusuf lebih memilih menerima hukuman pisik
(dipenjarakan) daripada ia harus melakukan kejahatan di mata Tuhan.
Ken Blanchard dan Phil
Hodges mengemukakan : “Agar berhasil mengatasi godaan berupa menjalani
kepemimpinan yang melayani diri sendiri, setiap hari Anda harus menaruh EGO-mu
di altar dan memuji Allah saja.”[xiv] Dalam pembelajaran di rumah Potifar
ini, Yusuf berhasil menjadi pribadi yang berpusat pada kehendak Allah, dan
bukan pada diri sendiri.
C. Yusuf Di Penjara Tahanan Raja.
Yusuf telah melewati
masa-masa pembelajaran di dua tempat yang berbeda. Setelah itu, TUHAN Allah membawanya ke dalam
penjara, bukan karena kesalahan yang diperbuatnya.
Penahanan Yusuf di
penjara tahanan-tahanan raja ini merupakan peristiwa yang unik. Setelah Yusuf
ditahan di penjara raja tersebut, penulis kitab ini melanjutkan isinya dengan
peristiwa penahanan juru minuman dan juru roti raja Firaun. Alkitab mencatat
setelah keduanya di tahan bersama dengan Yusuf, kemudian mereka mendapatkan
mimpi, dan mimpi itu sangat mengganggu pikiran mereka. Akibatnya, mereka
menjadi sangat gusar. Kemudian Yusuf
menafsirkan mimpi keduanya, dan berdasarkan arti mimpi itu, terjadilah
demikian kepada mereka berdua. Juru minuman raja dikembalikan ke posisinya
semula, dan juru roti raja digantung di tiang gantungan.
Pada tahap pembelajaran
di penjara ini TUHAN mengajarkan beberapa nilai kehidupan kepadanya, anatar
lain :
1.
Tuhan
mengajarkan agar ia menjadi seorang yang peka akan kebutuhan orang-orang di
sekitarnya (Kej 40 : 6-7). Seorang pemimpin yang baik, pada hakikatnya selalu
dituntut untuk mengetahui atau menebak kebutuhan (need), keinginan (want) dan
harapan (expectation) orang yang ada di wilayah kepemimpinannya. Dengan
demikian ia dapat memahami orang-orang di sekitarnya. Yusuf peka terhadap kebutuhan kedua pegawai istana
raja tersebut. Dalam kasus ini, Yusuf
belajar untuk memperkatakan perihal TUHAN Allah yang adalah sumber
hikmat dan pengetahuan (40: 8).
2.
Tuhan
mengajarkannya untuk bersabar menantikan waktu yang paling tepat untuk
mengalami janji-janji TUHAN. Fakta menyatakan bahwa setelah juru minuman Raja
kembali ke posisinya, Yusuf berpesan kepada juru minuman raja agar
meingingatnya (Kej 40:14). Namun fakta berbicara lain, ia dilupakan untuk
beberapa waktu lamanya (band. Kej 40: 20-23; 41: 1-13). Menjadi seorang
pemimpin yang efektif membutuhkan pembentukan dalam berbagai bidang
kehidupannya. Pembentukan itu mau dan atau tidak mau haruslah dilewati setiap
orang.
2.2. Ekselensi Yusuf
Beberapa artikel dan bahan-bahan
tentang kempemimpinan mencatat bahwa
ekselensi seorang pemimpin itu perlu diperhatikan. Seorang pemimpin yang
ekselen tidak akan pernah menyerah dalam menghadapi setiap tantangan. Pemimpin
yang ekselen tahu mengerjakan setiap tugas dan tanggung jawabnya dengan sangat
baik. Pemimpin yang ekselen melihat setiap tantangan sebagai satu peluang untuk
mengalami terobosan.
Pemimpin yang ekselen adalah pemimpin
yang memutuskan untuk memanfaatkan ekselensi yang TUHAN anugerahkan kepada
dirinya. Artinya, pada dasarnya setiap
orang diberikan anugerah menjadi pribadi yang ekselen. Menjadi permasalahannya
adalah banyak sekali orang tidak menyadari anugerah yang satu ini. Fakta
membuktikan banyak orang yang hidup di luar kriteria seorang pribadi yang
ekselen. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat menjadi pribadi yang ekselen apabila
ia memutuskan untuk memanfaatkan ekselensi tersebut.
Berdasarkan catatan-catatan Alkitab
tentang Yusuf, ia adalah pribadi ekselen. Berikut ini adalah data-data yang
dicatatkan oleh Alkitab tentang ekselensinya:
- Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Yakub.
Yusuf membuktikan
ekselensinya dalam setiap tanggung jawab yang dibebankan Yakub kepadanya.
Ketika ia menggembalakan kambing domba bersama dengan saudara-saudaranya, ia
tidak ikut terlibat dalam kejahatan saudara-saudaranya. Ekselensi Yusuf ini
juga terlihat dalam tugas pencarian saudara-saudaranya ke Sikhem. Pada waktu ia
tidak menemukan mereka di seluruh daerah Sikhem, ia tidak menyerah, tetapi ia
berusaha untuk mencari tahu kepada orang-orang perihal saudara-saudaranya.
Pencarian itu berakhir dengan pencarian ke daerah Dotan. Di Dotan ini ia
ditangkap oleh saudara-saudaranya dan dibuang ke dalam sumur kering, serta di
jual ke Mesir sebagai budak.
Bagi penulis, ekselensi
Yusuf bukan hanya berbicara tentang kemampuannya untuk melakukan tugas tanggung
jawabnya dengan sangat baik, tetapi juga berbicara tentang kemampuannya untuk
melakukan setiap tugas dengan cara yang benar berdasarkan kebenaran TUHAN.
Yusuf berhasil dalam melaksanakan kebenaran, dimulai dari lingkungan
terkecilnya, yaitu keluarganya, kemudian di lingkungan luar rumahnya (rumah
Potifar), di lingkungan penjara, dan kemudian dalam lingkungan kenegaraan.
Yusuf di kenal sebagai seorang yang ekselen dan smart karena TUHAN. Yusuf dapat
membuktikan TUHAN-lah sumber dari hikmat dan pengetahuan yang dimilikinya
selama hidupnya.
- Melaksanakan tugas sebagai budak di rumah Potifar.
Yusuf dapat menunjukkan
kepada Potifar bahwa penyertaan Tuhanlah yang membuatnya berhasil. Yusuf
menunjukkan ekselensinya dalam banyak perkara, sehingga ia menjadi orang
kepercayaan dan penguasa atas rumah tuannya.
Yusuf juga menunjukkan
ekselensinya dalam bentuk keberaniannya untuk mengerjakan pekerjaan yang ada
dalam batasan tanggung jawabnya. Ini terlihat dalam keberaniannya menolak
permintaan isteri tuannya untuk bersetubuh. Yusuf tahu persis bahwa permintaan isteri tuannya
itu di luar tanggung jawabnya, dan tidak berkenan di mata TUHAN Allah.
Antonius Mulyanto dalam
salah satu artikel tentang kepemimpinan mengupas pentingnya pemahaman perihal
batasan-batasan (bounderis) dari tanggung jawabnya. Yusuf teruji dalam point
ini, sekali pun ada kesempatan untuk melewati batasan-batasan tersebut, ia
sadar betul apa akibat dari pelanggaran itu.
- Melaksanakan Tugas di dalam penjara.
Pada waktu Yusuf memilih
untuk bekerja pada batasan-batasan tanggung jawabnya, dia menerima satu
konsekuwensi. Ia dipenjarakan oleh tuannya ke dalam rumah tahanan raja. Satu
keanehan terjadi di dalam penjara ini. Sekalipun ia adalah pendatang baru,
namun Yusuf menjadi orang kepercayaan kepala penjara. Yusuf dipercayakan untuk
memegang kunci penjara tahanan raja, bahkan mengurus segala sesuatu yang
berhubungan dengan penjara tersebut. Ekselensi Yusuf tidak dapat dipenjarakan
oleh dinding-dinding penjara. Ekselensi Yusuf tetap nyata.
Ekselensi Yusuf di dalam
penjara ini tidak terlepas dari penyertaan TUHAN. Ada kemungkinan ketika Yusuf
dipenjarakan karena pitnahan isteri tuannya, ia sedikit putus asa. Oleh karena
itu, TUHAN yang telah menetapkannya untuk melaksanakan misi penyelamatan bangsa
pilihannya menjamah hati pemimpin penjara sehingga menaruh rasa sayang kepada
Yusuf (band. Kej 39: 21).
Di sini Yusuf kembali dapat menyatakan penyertaan TUHAN
kepada kepala penjara, bahkan kepada orang-orang yang dipenjarakan bersama
dirinya. Alkitab mengemukakan, setelah semua tahanan dipercayakan kepada Yusuf,
kemudian kepala penjara juga mempercayakan segala pekerjaan yang berhubungan
dengan penjara tersebut (band. Kej 39: 22). Mendapat kepercayaan penuh dari
kepala penjara membuktikan bahwa Yusuf adalah seorang yang ekselen.
Ekselensi Yusuf ini juga
tidak terbatas pada pekerjaan yang berhubungan dengan penjara. Ia juga dapat
membuktikan hal kesanggupan TUHAN untuk mengungkapkan hal-hal yang rahasia. Ini
berhubungan dengan mimpi kedua pelayan raja, yaitu juru roti dan juru minuman
raja. Yusuf sangat peka terhadap pimpinan TUHAN. Yusuf sangat berhati-hati
dalam menyaksikan akan kesanggupan TUHAN yang dipercayainya. Menurut penulis,
ketepatan arti mimpi yang didapatkannya dari TUHAN adalah bersumber dari
hubungannya yang intim dengan TUHAN.
Seorang pemimpin yang
percaya kepada TUHAN seharusnya memiliki hubungan yang intim dengan TUHAN.
Seorang pemimpin harus memiliki hubungan yang intim dengan TUHAN karena sekali
pun ia memiliki banyak pengalaman memimpin, perlu diketahui bahwa masih banyak
hal yang merupakan perkara yang rahasia baginya.
Alkitab membuktikan
kepada kita, ternyata sekali pun orang-orang yang ditahan bersama dengan Yusuf
dan para pelayan itu adalah orang-orang yang terpelajar dan telah memiliki
pengalaman lebih dari pada Yusuf, mereka tidak sanggup untuk mengartikan mimpi
tersebut dengan tepat (Kej 40:8a). Namun berbeda dengan Yusuf. Yusuf bukan
hanya mengandalkan kepintarannya, melainkan mengandalkan hikmat dari TUHAN.
Pada waktu kedua pelayan raja itu terlihat gusar karena mimpi itu, Yusuf
mengatakan demikian : “Bukankah Allah yang menerangkan arti mimpi? Ceritakanlah
kiranya mimpimu kepadaku” (Kej 40: 8b). Pemimpin haruslah mencontoh tindakan
Yusuf ketika menghadapi masalah-masalah yang misteri, sebab hanya DIA-lah yang
sanggup memberikan jalan keluarnya.
- Melaksanakan Tugas pemerintahan.
Yusuf dapat menjalankan
tugas-tugas pemerintahan, khususnya pengumpulan gandum selama masa kelimpahan,
dan pengelolaan persediaan makanan selama masa kelaparan yang melanda negeri
Mesir serta negeri-negeri sekitarnya.
Setelah Yusuf melewatkan
hari-hari yang melelahkan dalam tahanan raja, tibalah saatnya bagi Yusuf untuk
menyatakan ekselensinya dalam melaksanakan tugas pemerintahan di Mesir.
Kesempatan ini betitik tolak dari kegusaran raja Firaun dengan dua mimpinya di
waktu tidur. Raja telah menanyakan arti mimpinya kepada orang-orang kenamaan di
negeri itu, namun tidak ada seorang pun yang mampu menafsirkannya.
Pada waktu semua ahli
nujum dan para ahli tafsir mimpi sudah menyerah, Allah membukakan ingatan juru
minuman raja tentang kemampuan Yusuf dalam menafsirkan arti mimpi. Kemudian
Yusuf dipanggil dan dimintakan untuk menafsirkan arti mimpi raja itu, dengan
cara yang sama. Mendengar kisah dari kedua mimpi raja itu, Yusuf menyikapinya
dengan cara yang ekselen. Yusuf tidak
menyombongkan dirinya di hadapan raja. Ia menegaskan, bukan dirinya yang mampu
membukakan arti mimpi, melainkan TUHAN (band. Kej 41: 14-16).
Setelah mendengarkan
kedua mimpi raja Firaun tersebut, kemudian Yusuf menafsirkan arti mimpi itu,
dan kemudian ia mengusulkan cara terbaik untuk mewujudkan arti mimpi tersebut
(Kej 41: 25-36). Melihat kemampuan ini, kemudian raja mempercayakan kepadanya
untuk melaksanakan tugas yang dimaksudkan dalam mimpinya tersebut. Ia di angkat
sebagai penguasa nomor dua di Mesir (Kej 41:37-45).
Berdasarkan catatan
Alkitab, Yusuf bekerja dengan sangat baik, ini dapat disebut sebagai satu
prestasi kerja yang ekselen. Selama tujuh tahun masa kelimpahan, Yusuf menimbun
hasil gandum di lumbung-lumbung yang telah dipersiapkan di setiap kota di
negeri itu (Kej 41: 46-49). Yusuf bukan hanya ekselen selama masa kelimpahan
tersebut, setelah tiba tujuh tahun masa kelaparan, hasil kerjanya selama masa
kelimpahan itu dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Mesir, bahkan orang-orang
dari luar Mesir pun datang untuk membeli gandum kepadanya, termasuk keluarganya
dari tanah Kanaan.
Ekselensi Yusuf
menjadiknya seorang penyelamat bagi bangsa Mesir, dan juga cikal bakal bangsa
Israel yang dari padanya TUHAN Allah membangkitkan Mesias, yang disebut Yesus
Kristus, sang Juru selamat dunia.
Atitude Yusuf
Walaupun dari hari ke hari
perempuan itu membujuk Yusuf, Yusuf tidak mendengarkan bujukannya itu untuk
tidur di sisinya dan bersetubuh dengan dia (Kej 39:10)
Dalam kepemimpinan rohani, masalah attitude
adalah masalah yang sangat penting untuk disoroti. Alkitab mencatat
beberapa contoh tentang keseriusan TUHAN menyikapi masalah Attitude.
Contoh : Musa, seorang pemimpin besar yang dianugerahi TUHAN sebagai manusia
yang paling lembut hatinya (Bil. 12:3); hanya karena sikap tidak taat kepada
petunjuk TUHAN yang dipengaruhi oleh sungut-sungut bangsa Israel harus menerima
hukuman tidak dapat memasuki negeri Kanaan (Bil 20: 1-13;Ul 34: 1-6). Contoh
lainnya adalah tokoh Saul. Saul adalah seorang raja yang pertama kali di antara
orang Israel. Ia seorang yang elok rupanya (1 Sam 9:2). Tuhan menolaknya karena
ia tidak taat pada batas-batas tanggungung jawab. Ia sengaja melanggar batasan
itu dengan mempersembahkan korban kepada TUHAN, yang seharusnya adalah tugas
dari nabi Samuel. Oleh karena itu, TUHAN menolaknya dan mengambil urapan
kepemimpinan itu dari padanya, serta memmberikannya kepada DAUD anak Isai.
Nilai Atitude merupakan modal dasar dari seorang pemimpin menuju sukses. Leksana
TH dalam salah satu artikel yang mengemukakan :
Banyak manager yang menggunakan attiude
sebagai acuan pertimbangan dalam merekrut karyawan. Atitude memiliki arti kecenderungan sikap.
Attitude seseorang sangat mempengaruhi cocok tidaknya dia dalam satu peran di
pekerjaannya.[xv]
Karakter merupakan satu bagian dari “attitude.”
Fredd Smith dalam kutipan sampul bukunya mengemukakan “selusin karakter seorang
pemimpin bisa saja kuat, namun seorang pemimpin bisa gagal karena satu atau dua
karakter yang lemah.”[xvi]
Berdasarkan penjelasan di atas, nyatalah betapa pentingnya memperhatikan
unsur “attitude” secara serius.
Yusuf seorang pemimpin yang dipersiapkan TUHAN.
TUHAN dengan sengaja membawanya ke berbagai situasi dan tempat yang
berbeda-beda. Pertama-tama TUHAN menempatkannya di antara keluarganya, kemudian
di rumah Potifar orang Mesir, dan dimasukkan ke dalam tahanan penjara. Dalam
semua tempat ini, ternyata sikap baik “attitude” Yusuf yang telah terbina sejak masa kecilnya tidak
dapat berubah karena perubahan situasi, dan mau pun tempat. Sekali pun ia
berada pada tempat yang memaksanya untuk kompromi dengan ketidak-benaran, ia
tetap memilih untuk menunjukkan sikap baik yang seharusnya ada dalam diri
seorang pemimpin.
Yusuf dapat berkarakter baik bukan karena
mendapatkan tekanan dari TUHAN. Yusuf senantiasa menunjukkan sikap dan perilaku
yang terpuji itu karena ia benar-benar memutuskan untuk melakoninya.
Perhatikanlah catatan-catatan berikut ini
- Kej 37: 2b : “Dan Yusuf menyampaikan kepada ayahnya kabar tentang kejahatan saudara-saudaranya.” Ini berbicara perihal attitude.
- Kej 39: 6b :” Adapun Yusuf itu manis sikapnya (attitude) dan elok parasnya.”
- Kej 39: 9 : “Walaupun dari hari ke hari perempuan itu membujuk Yusuf, Yusuf tidak mendengarkan bujukannya itu untuk tidur di sisinya dan bersetubuh dengan dia.” Dalam kasus ini, karakter moral Yusuf (attitude-nya) teruji.
- Kej 40 : 6-7 : Ketika pada waktu pagi Yusuf datang kepada mereka, segera dilihatnya, bahwa mereka bersusah hati. Lalu ia bertanya kepada pegawai-pegawai istana Firaun yang ditahan bersama-sama dengan dia dalam rumah tuannya itu: “Mengapakah hari ini mukamu semuram itu?” Dalam kasus ini, yusuf menunjukkan satu karakter yang lu biasa, yaitu dalam hal keperduliannya kepada kebutuhan orang-orang yang sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan. Ini adalah satu karakter yang erat hubungannya dengan attitude yang baik, dan seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin.
- Kej 39: 9b : “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” bandingkan dengan Kej 40: 8b : “Lalu kata Yusuf kepada mereka: “Bukankah Allah yang menerangkan arti mimpi? Ceritakanlah kiranya mimpimu itu kepadaku.” Dalm kedua kasus ini, Yusuf menunjukkan satu karakter moral dan etika yang sehrusnya dimiliki oleh seorang pemimpin pilihan TUHAN.
Sikap baik
atau “attitude” ditentukan oleh sikap hati kita untuk menyikapi
segala sesuatu, khususnya dalam menyikapi kasih TUHAN. Pengertian hati dalam
Alkitab dalam bahasa aslinya di tulis “leb” artinya bagian
terdalam manusia mencakup pusat intelektual atau pikiran, perasaan, dan juga
kehendak manusia[xvii]
Karakter Yusuf yang baik tersebut adalah bersumber dari keputusan
terdalam yang keluar dari pusat kehidupannya.
Kejadian
39: 7-23 menunjukkan “attitude”
Yusuf dapat hidup dengan sikap baik. Perilaku
Yusuf ini didasari oleh kesadaran diri dan motivasi yang benar. Ia hidup bukan
untuk dirinya sendiri, melainkan semata-mata untuk menjalankan hidup yang benar
dan berkenan kepada TUHAN Allah-nya.
Pada waktu musuh-musuhnya berusaha
untuk menghacurkan tembok-tembok pertahanan sikap baiknya, ia sadar akan
tingkat kekuatan pertahanannya. Ia memilih untuk menggunakan strategi yang unik
untuk menghindari serangan musuhnya. Ia tidak mencoba untuk memberikan
penjelasan-penjelasan kepada isteri tuannya yang sedang gila seks, juga tidak
berusaha menggunakan kekuatannya untuk menghajar isteri tuannya yang kurang
ajar tersebut. Yusuf memilih untuk lari dan meninggalkan musuhnya tersebut.
Yusuf
mewujud-nyatakan sikap baik di hadapan TUHAN dan juga manusia. Itu
bukanlah sikap baik yang hanya bersifat sementara, tetapi sikap baik yang terus
menerus dalam segala situasi, dan tempat.
Berdasarkan catatan-catatan yang ada, perwujud-nyataan
sikap ini terjaga dalam keseimbangan di antara ke duanya. Sikap baiknya itu
tetap dijaganya seumur hidupnya. Bahkan setelah ia menjadi penguasa nomor dua di Mesir, ia tetap bersikap baik.
Sekali pun ia dapat saja membalaskan perbuatan jahat yang pernah dilakukan oleh
saudara-saudaranya, ia tidak menggunakan kesempatan itu. Sekali pun ia dapat
menggunakan kuasa yang ada padanya untuk membalaskan kejahatan
saudara-saudaranya, tetapi ia malah mengasihi mereka. Perhatikanlah catatan
kitab Kejadian 50 berikut ini:
17.Beginilah harus kamu katakan kepada Yusuf: Ampunilah kiranya kesalahan
saudara-saudaramu dan dosa mereka, sebab mereka telah berbuat jahat kepadamu.
Maka sekarang, ampunilah kiranya kesalahan yang dibuat hamba-hamba Allah
ayahmu.” Lalu menangislah Yusuf, ketika orang berkata demikian kepadanya.
18 Juga saudara-saudaranya datang
sendiri dan sujud di depannya serta berkata: “Kami dating untuk menjadi
budakmu.” 19 Tetapi Yusuf berkata kepada
mereka: “Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? 20 Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat
terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan
maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup
suatu bangsa yang besar. 21 Jadi janganlah
takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga.“ Demikianlah ia
menghiburkan mereka dan menenangkan hati mereka dengan perkataannya (Kej
50:17-21).
Nelson Mandela
dalam acara Oprah Winfrey menceritakan, selama 27 tahun di dalam penjara
pemerintah apartheid, justru melahirkan perubahan dalam dirinya. Dia mengalami
perubahan karakter dan memperoleh kedamaian dalam dirinya. Pemenjaraan itu
menjadikannya menjadi seorang yang rendah hati, dan mau memaafkan mereka yang
telah membuatnya menderita bertahun-tahun.[xviii] Ariwibowo Prijaksono dalam salah satu
artikelnya mengutip pendapat Ken Blanchard yang mengatakan: “kepemimpinan dimulai dari dalam hati
dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya.”[xix]
Ini sangat cocok
dengan sikap dan perilaku Yusuf sebagai seorang pemimpin. Yusuf tidak melihat
apa yang orang lain perbuat kepadanya, tetapi apa yang ada di dalam dia dan
yang benar-benar dibutuhkan orang yang dipimpinnya. Penderitaan yang dialaminya
selama bertahun-tahun mempersiapkan Yusuf menjadi seorang pemimpin dengan
kepemimpinan hamba.
Kepemimpinan
yang berhasil adalah kepemimpinan yang disertai dengan karakter yang
berkualitas baik. Yusuf menjadi pemimpin bukan oleh karena ia lulus ujian
saringan atau fit and proper test. Yusuf lulus ujian kehidupan, ketika dibuang
ke sumur kering oleh kakak-kakaknya sendiri; ketika dijual sebagai budak di
Mesir; ketika digoda oleh istri majikannya; dan tatkala di penjarakan karena
fitnah dan kemudian dikecewakan oleh rekan yang pernah ditolongnya. Bukankah
semua itu menjadi bukti sebuah karakter yang kuat? Jawabannya sederhana:
penderitaan, apalagi yang datang bertubi-tubi, akan menghancur-lumatkan
kualitas mereka yang berwatak lemah seperti kerupuk. Namun penderitaan,
walaupun silih berganti, justru akan memperkuat serta meningkatkan kualitas
mereka yang berkarakter baja.
Kepemimpinan adalah
sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau
transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau
gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri
seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi
kedamaian dalam diri (inner peace)
dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan
tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika
keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah
seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau
jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang
dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Yusuf Seorang Dreamer
“Pada suatu kali bermimpilah
Yusuf, lalu mimpinya itu diceritakannya kepada saudara-saudaranya; sebab itulah
mereka lebih benci lagi kepadanya” (Kej 37: 5).
Seorang pemimpin dikenal karena
kemampuannya untuk bermimpi. Yusuf adalah seorang yang mempunyai mimpi tentang
masa depannya. Alkitab mencatat bagaimana Yusuf memimpikan tentang masa
depannya dan masa depan saudara-saudaranya. Yusuf mendapatkan mimpi tentang
masa depannya hingga dua kali. Berdasarkan mimpi Yusuf itu, nyatalah bahwa
kedua mimpinya itu memiliki arti yang sama, yaitu bahwa ia akan menjadi seorang
pemimpin.
Menurut Mathews Henry, mimpi Yusuf
ini adalah satu mimpi nubuatan.[xx] Mimpi itu tidak murni dari diri
Yusuf sendiri, tetapi dari TUHAN kepadanya. Mimpi itu datang sampai dua kali.
Ini artinya TUHAN Allah hendak menegaskan akan kebenaran mimpi itu. Pada waktu
ia menerima mimpi itu, usianya masih tujuh belas tahun, jadi ia masih sangat
muda.
Menyikapi mimpi-mimpi yang
diterimanya itu, Yusuf sangat senang. Yusuf menerimanya dengan iman (band.
Ibrani 11:22). Yusuf yakin akan kebenaran mimpi-mimpi itu. Keyakinan Yusuf ini
terlihat dari caranya untuk menyampaikan hal mimpi-mimpinya itu kepada
saudara-saudaranya dan kepada bapa serta ibunya (band. Kej 37: 5 - 11).
Keyakinan Yusuf ini bukanlah satu keyakinan yang dibuat-buat. Keyakinan Yusuf
akan kebenaran mimpi ini adalah satu keyakinan yang bulat.
Jikalau meneliti lebih teliti akan
latar belakang hubungan sosialnya dengan saudara-saudaranya, pada waktu itu
hubungannya sedang tidak harmonis. Keadaan itu masih tetap berlanjut sampai
pada mimpi keduanya. Saudara-saudaranya sedang membencinya karena ketulusan
serta kejujuran Yusuf kepada ayah mereka. Namun keadaan itu tidak menghalangi
Yusuf menceritakan perihal mimpi itu.
Mimpi dalam bahasa Inggris adalah “dream,”
dan dalam bahasa kepemimpinan disebut sebagai “vision.” Menurut
kamus Inggris-Indonesia, kata “vision” ini artinya penglihatan,
atau daya lihat, dan impian.[xxi] Arti yang ketiga ini erat
hubungannya dengan masa depan.
Yusuf, pemimpin yang dipersiapkan
TUHAN menjadi pemimpin di masa depan tidak menahan visi yang ada padanya. Ia
membagikannya kepada orang-orang terdekatnya. Peter M. Senge dalam buku
mengemukakan ciri-ciri pemimpin yang ingin oraganisasinya bertumbuh, ia harus
berani membagikan visinya kepada orang-orang terdekatnya. Seorang pemimpin
haruslah berani untuk membagikan mimpinya kepada orang-orang yang dipimpinnya.
Kriswandaru mendefinisikan visi merupakan
suatu mimpi, cita-cita atau bayangan akan masa depan yang hendak dicapai oleh
suatu organisasi.[xxii] Menurut penjelasan bapak Tonny Latif dalam kelas Developing
Leader with in You, “VISI” pemimpin adalah : “Penglihatan ke
dalam rencana, tujuan dan maksud Tuhan dalam kehidupan seorang Pemimpin.”
Jadi visi bukan hanya sekedar mimpi ataupun angan-angan belaka. Visi juga bukan
suatu ambisi. Visi yang baik merupakan sesuatu yang bisa dicapai. Kriswandaru[xxiii]
mengemukakan dalam artikelnya perihal apa itu visi yang sebenarnya sebagai
berikut ini :
What Vision Does?
1. Visi
menghubungkan sekarang dengan masa depan
Visi selalu
berbicara tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Namun visi dimulai dan
dibangun dari sekarang. Ibaratnya seorang arsitek yang hendak membangun sebuah
gedung. Langkah awalnya sang arsitek akan mencoba membuat gambaran awal
bagaimana bentuk gedung tersebut. Kemudian dia akan mulai membuat fondasinya.
Sampai pada akhirnya gedung yang sesuai dengan gambaran awal sang arsitek
terbentuk. Gambaran awal itu ibaratnya seperti visi. Pembuatan
fondasi seperti langkah awal.
2. Visi
akan memberi kekuatan dan semangat baru
Orang-orang dalam organisasi akan lebih antusias dan mereka akan lebih bersungguh-sungguh dan memiliki komitmen tinggi untuk bekerja bila ada visi yang jelas. Coba bayangkan dan bandingkan satu organisasi yang tidak memiliki visi dan mereka hanya sekedar “bertahan hidup” saja dengan organisasi yang memiliki visi (tentunya yang relistis). Pasti orang-orang di organisasi yang memiliki visi akan lebih antusias dibandingakn orang-orang di organisasi yang tidak memiliki visi.
Orang-orang dalam organisasi akan lebih antusias dan mereka akan lebih bersungguh-sungguh dan memiliki komitmen tinggi untuk bekerja bila ada visi yang jelas. Coba bayangkan dan bandingkan satu organisasi yang tidak memiliki visi dan mereka hanya sekedar “bertahan hidup” saja dengan organisasi yang memiliki visi (tentunya yang relistis). Pasti orang-orang di organisasi yang memiliki visi akan lebih antusias dibandingakn orang-orang di organisasi yang tidak memiliki visi.
3. Visi
memberi rasa bangga
Visi akan membuat seseorang akan merasa bangga dan lebih berharga. Misalkan suatu organisasi memiliki visi yang bagus, maka orang-orang di organisasi tersebut akan merasa bangga akan organisasinya.
Visi akan membuat seseorang akan merasa bangga dan lebih berharga. Misalkan suatu organisasi memiliki visi yang bagus, maka orang-orang di organisasi tersebut akan merasa bangga akan organisasinya.
4. Visi
akan memberikan standart atau nilai-nilai baru
Dengan adanya visi maka akan terbentuk nilai-nilai atau standart-standart yang dibutuhkan untuk mencapa visi tersebut. Sebagai contoh, Anda mempunyai visi untuk menurunkan berat badan. Maka akan timbul beberapa nilai-nilai baru seperti membatasi makan, berolahraga dan sebagainya. Sama halnya dengan visi dalam organisasi.
Dengan adanya visi maka akan terbentuk nilai-nilai atau standart-standart yang dibutuhkan untuk mencapa visi tersebut. Sebagai contoh, Anda mempunyai visi untuk menurunkan berat badan. Maka akan timbul beberapa nilai-nilai baru seperti membatasi makan, berolahraga dan sebagainya. Sama halnya dengan visi dalam organisasi.
Jadi visi haruslah sesuatu yang realistik. Dengan demikian visi
dapat digambarkan sebagai satu lensa yang powerfull untuk menjalankan
kepemimpinan di masa depan.
Para
praktisi di bidang kepemimpinan mengemukakan, satu vision dapat menjadi
powerfull apabila visi itu dibagikan kepada orang-orang yang ada di sekitar
pemimpin. Peter senge mengemukakan: “suatu visi benar bila saya dan Anda
memiliki gambaran yang sama dan mempunyai komitmen satu sama lain untuk
memilikinya, tidak hanya untuk diri kita masing-masing atau secara individual
memilikinya.”[xxiv] Dengan demikian visi itu menjadi
jelas bagi setiap orang di sekitar pemimpin tersebut. Kejelasan dan kesamaan
visi ini dibutuhkan agar dapat menyusun strategi untuk mencapai tujuan dari
visi tersebut.
Ketika Yusuf melihat visi yang telah
dibagikannya tidak mendapatkan tanggapan positif dari keluarganya, ia tidak
memandang para penentangnya sebagai musuh. Alkitab mencatat bahwa Yusuf tetap
menjalankan kehidupannya sebagaimana biasanya (band. Kej 37:12-17). Andy Staley
mengatakan : “A vision does not necessarily require immediate action.”[xxv] Andy Staley memberikan jawaban
tentang masalah ini. Mengapa visi itu tidak dengan segera menyatakan keberadaannya.
Ini disebabkan karena tiga alasan :
- The Vision matures in us,[xxvi]
- We mature in preparation for the vision,[xxvii]
- God is at work behind the scenes preparing the way.[xxviii]
Satu visi dapat terlihat dalam satu
fakta nyata apabila penerima visi dengan setia memelihara visi yang ada padanya
hingga visi itu mencapai taraf kematangannya. Visi seorang pemimpin haruslah bertumbuh
ke arah pematangan visi itu secara alamiah.
Visi dapat diumpamakan dengan tumbuhan gandum. Tumbuhan gandum berasal dari
bijih gandum. Bijih terlebih dahulu ditaruh di dalam tanah. Bijih tersebut
dikubur, dan kita tidak pernah tahu
bagaimana proses yang pasti bagaimana bijih itu dapat bertumbuh. Namun yang
pasti bahwa di dalam bijih itu ada cikal bakal tumbuhan gandum (visi yang
tertanam dalam hati pemimpin). Permasalahannya adalah cikal bakal tanaman
gandum yang ada dalam bijih tersebut dapat bertumbuh apabila ia ditaruh dalam
wadah yang tepat, dan dirawat dengan baik. Dengan demikian suatu waktu kelak
bijih gandum tersebut dapat bertumbuh dengan baik dan pada akhirnya
menghasilkan buah-buah gandum yang terbaik. Siapa yang mengerjakan pertumbuhan
itu? Dia adalah TUHAN sumber segala kehidupan. Begitu juga dengan visi yang ada
dalam hati seorang pemimpin, ia harus dirawat, dan ditumbuh suburkan dalam
campur-tangan TUHAN. Yusuf, merupakan contoh teladan bagi pemimpin di sepanjang
masa. Ia rela mengikuti
proses pematangan visi yang ada padanya.
Yusuf seorang Encourager
Keberhasilan kepemimpinan ditentukan
oleh pemimpin itu sendiri. Ini dihasilkan dari proses perubahan karakter
pemimpin ke arah yang semakin memberikan dampak yang dibutuhkan oleh
orang-orang yang diharapkannya ada di bawah kepemimpinannya. Perubahan
kepemimpinan seseorang lahir dari hati. Ia tidak berfokus pada diri sendiri,
tetapi kepada tujuan yang diharapkannya dari orang-orang di sekitarnya. Yesus
berkata dalam Matius 7:12: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang
perbuat kepadamu demikian juga kepada mereka.” Jika seorang pemimpin ingin
mendapatkan dukungan semangat dari orang-orang di sekitarnya, hendaklah ia
terlebih dahulu memberikan dorongan semangat kepada orang-orang. Pemimpin yang
sejati adalah seorang pemberi semangat.
Mary M. Bauer, penulis artikel “be
encourager” mengutip kata-kata bijak Jean Houston yang mengatakan “We
all have the extraordinarry coded inside us, waiting to be released.” Kata-kata bijak ini benar adanya, di dalam
diri setiap orang terdapat code-code (inventaris) luarbiasa yang siap untuk
dilepaskan ke alam nyata, sehingga dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang
banyak. Inventaris tersebut antara lain talenta berupa kreativitas,
keahlian-keahlian khusus, dan lain sebagainya.
Faktanya banyak orang takut untuk merealisasikannya dalam satu bentuk
nyata. Hal ini tentunya sangat merugikan dalam satu sitem kepemimpinan. Seorang
pemimpin memiliki tugas tanggung jawab untuk mendorong setiap orang di
lingkungan kepemimpinannya untuk memiliki keberanian memanfaatkan
peralatan-peralatan yang ada dalam inventaris pribadi orang-orang
tersebut.Yusuf sebagai seorang Encourager terlihat dalam detik-detik
kehidupannya. Alkitab mencatat :
15. Ketika saudara-saudara Yusuf melihat, bahwa ayah
mereka telah mati, berkatalah mereka: "Boleh jadi Yusuf akan mendendam
kita dan membalaskan sepenuhnya kepada kita segala kejahatan yang telah kita
lakukan kepadanya." 16. Sebab itu mereka menyuruh menyampaikan
pesan ini kepada Yusuf: "Sebelum ayahmu mati, ia telah berpesan: 17. Beginilah harus kamu katakan
kepada Yusuf: Ampunilah kiranya kesalahan saudara-saudaramu dan dosa mereka,
sebab mereka telah berbuat jahat kepadamu. Maka sekarang, ampunilah kiranya
kesalahan yang dibuat hamba-hamba Allah ayahmu." Lalu menangislah Yusuf,
ketika orang berkata demikian kepadanya. 18. Juga saudara-saudaranya datang sendiri dan
sujud di depannya serta berkata: "Kami datang untuk menjadi budakmu."
19. Tetapi Yusuf berkata kepada
mereka: "Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? 20. Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat
terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan
maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup
suatu bangsa yang besar. 21. Jadi
janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga." Demikianlah
ia menghiburkan mereka dan menenangkan hati mereka dengan perkataannya.
Pada nats di atas, dilatar belakangi
oleh peristiwa kematian Yakub ayah mereka. Kematian Yakub ternyata menimbulkan
satu ketakutan tersendiri dalam diri saudara-saudara Yusuf. Ketakutan seperti
ini wajar terjadi kepada setiap orang. Dan kalau ditinjau kembali ke masa lalu
kehidupan mereka, sangat lazim bagi Yusuf untuk menghukum mereka. Alkitab
mencatat bahwa Yusuf tidak bertindak demikian, tetapi memberikan kata-kata
dorongan kepada saudara-saudaranya. Yusuf melihat dari sisi rencana TUHAN untuk
menyelamatkan kaum keluarganya dari bahaya kelaparan yang melanda
bangsa-bangsa.
Merry mengemukakan “An
encourager is someone who knows who you are—the real
you, not just the personality. Encouragers know you are already a pretty cool
person and there’s nothing you need do but be yourself. And they’ll tell you
that.”[xxix] Yusuf dapat memberikan dorongan
semangat kepada saudara-saudaranya, sebab ia menyadari tujuan Allah di dalam
hidupnya. Seorang pemimpin yang baik, dapat menjadi seorang penyemangat yang
baik dalam kepemimpinannya apabila ia sadar mengapa ia mendapatkan kesempatan
menjadi pemimpin dalam komunitasnya.
Paula Kirchner mengemukakan,
“Some
individuals around us are obviously in need of encouragement, but many hide
their struggles behind a smile.”[xxx] Yusuf peka untuk membaca pesan yang
disampaikan oleh orang-orang di sekitarnya.
Kepekaan untuk mengetahui kebutuhan orang-orang di sekitarnya bukanlah
satu kemampuan yang muncul secara tiba-tiba. Beberapa penggalan kisah hidupnya
menceritakan, Yusuf belajar untuk mendengarkan keluh kesah orang-orang di
sekitarnya. Keluh kesah ini merupakan kebutuhan hakiki yang dibutuhkan oleh
orang-orang tersebut. Khususnya dalam hal semangat untuk menghadapi
persoalan-persoalan yang kompleks.
Pada esensinya, leaders as ancourager
mengharuskannya memiliki interpersonal relationship yang
baik. Artinya, seorang pemimpin harus mecerminkan sikap layak dipercaya dalam
berbagai hal. Inilah kunci untuk dapat menjalankan fungsi ini. Robin Malau
dalam satu artikel berjudul “The Art of Work at Life Perspektif Awal
Kepemimpinan” menuliskan hasil penemuan dari Morgan McCall dan Michael Lombardo,
sebuah ‘cacat fatal’ (fatal flaws) leader yang gagal sebelum dapat mencapai
tujuannya, yaitu:
- Tidak sensitif pada yang lain;
- Dingin dan sombong;
- Tidak dapat dipercaya.
Menurut penulis, ini adalah jawaban
penting mengapa orang-orang di sekitar Yusuf suka mempercayakan masalah mereka
kepadanya. Yusuf memiliki kepekaan kepada orang-orang di sekitarnya, ia dapat,
dan layak untuk dipercaya.
Responsiblity Yusuf
Responsibilty adalah kata dalam bahasa Inggris, berasal dari dua akar kata,
yaitu “response”[xxxi] yang artinya “tanggapan, atau reaksi
terhadap” dan “ability”[xxxii] yang artinya kecakapan, kemampuan.
Jadi “responsibility” adalah kemampuan atau kecakapan seseorang
untuk memberikan tanggapan terhadap tuntutan-tuntutan yang dimintakan
kepadanya.
Dalam kisah Yusuf, Yusuf adalah seorang yang responsible.
Responsibility Yusuf ii telah penulis bahas sub bab yang berjudul
Yusuf sebagai learner. Oleh karena itu, penulis hendak menyoroti responsibility
Yusuf dari sisi yang lain, yaitu sisi disiplin pribadi.
Sifat responsible Yusuf
tidak terlepas dari disiplin yang diterimanya selama berada dalam pengasuhan
dan bimbingan ayahnya. Berdasarkan catatan-catatan hidupnya yang dituliskan
oleh penulis kitab Kejadian, ternyata Yusuf menghadapi banyak persoalan. Mengacu
kepada komposisi dari persoalan-persoalan yang di hadapinya pada waktu
meresponi setiap tugas tanggung jawab yang di bebankan kepadanya, ternyata
persoalan-persoalan tersebut dapat saja digunakannya untuk tidak memenuhi
tuntutan-tuntutan tugas tanggung jawabnya, namun ia tidak melakukannya.
Pertanyaannya adalah mengapa Yusuf tetap teguh untuk memenuhi semua tuntutan
tanggung jawabnya?
Kalau kita meneliti kisah tokoh ini, responsibility-nya
merupakan satu keputusan pribadinya untuk tetap hidup dalam aturan-aturan
kehidupan yang benar di hadapan TUHAN Allah yang diterimanya selama dalam
asuhan Yakub ayahnya. Keputusan ini nyata di dalam setiap pengambilan keputusan
atas perkara-perkara yang dibebankan kepadanya. Keputusan ini, bukanlah satu
keputusan yang sifatnya hanya sekedar wacana semata, dan atau keputusan yang
hanya ada pada tingkat emosi sementara. Keputusan ini diambil untuk memenuhi
semua tuntutan tugas tanggung jawab tersebut.
Bab VIII
KESIMPULAN
Setelah mempelajari unsur-unsur leadership dalam diri Yusuf,
penulis menyimpulkan sebagai berikut ini:
1.
Keberhasilan
setiap pemimpin ditentukan kemampuannya untuk memperlengkapi dirinya dengan
belajar dari pengalaman kehidupannya, baik keberhasilan-keberhasilan yang
didapatnya, dan mau pun kegagalan-kegagalan yang pernah di alaminya.
2.
Kepemimpinan
yang didefinisikan sebagai suatu kemampuan mempengaruhi orang-orang yang ada di
sekitar kepemimpinan tersebut, haruslah di dasarkan kepada keteladanan, dan
bukan skill, dan atau posisi. Keteladanan dapat menolong seorang pemimpin untuk
mempengaruhi orang-orang apabila ia memiliki karakter yang baik.
3.
Kepemimpinan
dapat berhasil mencapai tujuannya apabila seorang pemimpin memiliki visi yang
jelas dan dapat dimengerti oleh orang-orang, merupakan kerinduan orang-orang di
sekitarnya, sehingga orang-orang tersebut mau mengambil keputusan untuk
berkomitment mewujud-nyatakan visi sang pemimpin.
4.
Kepemimpinan
seorang pemimpin akan semakin diakui apabila ia dapat menunjukkan
responsilbiltynya dihadapan orang-orang yang dipimpinnya.
5.
Pemimpin
yang responsible adalah pemimpin yang selalu berusaha untuk mendisiplin dirinya
untuk menjalankan tugas tanggung jawabnya dengan baik, sesuai dengan aturan dan
peraturan yang disepakati bersama.
6.
Seorang
pemimpin harus menyadari akan arti penting dari pertanggung jawaban untuk
kelangsungan kepemimpinannya.
END NOTE
[i] Maxwell, John C. Mengembangkan
Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda, (Jakarta Barat: Binarupa Aksara,
1995), hal. 1.
[ii] Ibid, hal 2.
[iv] Ibid,
[v] Ibid,
[vi] WWW. Sscnco.com, TH., Leksana, Skills, Knowledge, Habit,
Atitude, Bisa dibina?, hal. 1. Kol.1.
[vii] Francis, Steven D., Yusuf-Yusuf
dalam Generasi Tuhan, (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 2000),
hal. 3
[viii] Senge, Peter M., Disiplin Klima, Seni &
Praktek dari Organisasi Pembelajar, (Jakarta Barat: Binarupa Aksara,
1996), hal. 23.
[ix] Alkitab Elektronik e-sword,
Hebrew Strong Corcondance, H157
[x] Pocket Dictionary
1.0., Copyright 2005 TJ Mobile.
[xi] Alkitab Elektronik e-sword,
Hebrew Strong Corcondance, H7451
[xii] Ward, Ted, Nilai
Hidup Dimulai Dari Keluarga, (Malang: Penerbit Ganddum Mas, 1988), hal.
7.
[xiii] Ciputra & Tanan,
Antonius, Menjadi Manusia Unggul Yang Disertai Tuhan. (Jakarta:
Bethlehem, 2003), hal.19.
[xiv] Blanchard, Ken. &
Hodges, Phil., LEAD LIKE JESUS, (Tangerang: Visimedia, ed. 2,
2007), hal. 90.
[xv] WWW. Sscnco.com, TH., Leksana, hal. 1. Kol. 2.
[xvi] SR, Fred S mith, Memimpin
dengan Integritas, (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1999).
[xvii] Bible Works 7.
[xviii] http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2002/083/man01.html,
Selasa, 05 juni 2007.
[xix] Ibid.
[xx] Alkitab Elektronik e-sword,
Hebrew Strong Corcondance, H2492.
[xxi] Ibid.
[xxiii] Ibid.
[xxiv] Senge, Peter M., Disiplin Kelima, Seni dan Praktek
Dari Organisasi Pembelajar, hal. 205.
[xxv] Diktat Vision
Notes from Visioneering by Andy Staley. (Malang, Satya Bakti Malang, 2006), p. 1
[xxvi] Ibid.
[xxvii] Ibid.
[xxviii] Ibid.
[xxix] Bauer, M. Mary., Be
encourager, Copyright 2006.
Celebrate Recovery Encourager Coaches Connection.htm
[xxxi] Echols, John M., &
Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia,
1975), reprinted: Cetakan XIII, Maret 1984.
[xxxii] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar