Stott mengemukakan gereja sebagai ekklesia-Nya Allah, dipanggil Allah dari dunia ini menjadi milik-Nya untuk hidup kudus karena Dia adalah Allah yang kudus, dan hidup berpadanan dengan panggilannya.[1] Panggilan itu tidak bertujuan agar gereja menarik diri keluar dari dunia kepada kehidupan pietisme.[2] Tuhan tidak memanggil gereja, juga tidak memisahkan secara total dari masyarakat dunia ini.
Gereja dipanggil dari
dunia, dan secara status disebut sebagai orang-orang kudus, berbeda, terpisah;
umat yang dikuduskan bagi Allah, tetapi Tuhan tidak membuat gereja-Nya menjadi
gereja yang eksklusif. Allah juga mengutus gereja ke dalam dunia untuk menyaksikan
Kabar baik kepadanya.
Robert dan Evelyn dalam
buku dengan judul “Menyampaikan Kabar Baik” memberikan gambaran tentang
jiwa-jiwa di sekitar kita:
Mungkin saudara pernah menumpang sebuah bus atau kereta api
yang penuh sesak. Ingatkah saudara bagaimana keadaannya? Semua tempat duduk
penuh. Mungkin saudara harus berdiri dengan banyak orang lain dan orang yang
berdiripun harus berdesak-desakan! Banyak negara makin padat penduduknya.
Meskipun setiap hari dibangun gedung-gedung baru, namun tidak cukup perumahan
bagi setiap orang.
Makin banyak orang, makin cepatlah penduduk meningkat. Dalam tahun 1930 dunia kita berpenduduk 2 milyar
orang. Sekarang sudah lebih dari empat milyar. Itu berarti tambahan 2 milyar
orang dalam waktu 50 tahun. Akan tetapi, pada tahun 2000 mungkin penduduk dunia
akan mencapai 6 milyar orang – tambahan dari 2 milyar dalam waktu 20 tahun
saja.
Apa artinya ini bagi saudara sebagai orang yang percaya
kepada Kristus? Saudara akan segera menyadari bahwa kebanyakan orang di
sekeliling saudara belum diselamatkan. Saudara juga akan menyadari bahwa ada
lebih banyak orang yang hidup, yang belum diselamatkan dewasa ini daripada generasi-generasi
sebelumnya. Ini berarti bahwa setiap orang percaya diperlukan untuk
memberitakan kepada orang lain tentang Juruselamat.[3]
Kutipan di atas memberikan gambaran
kepada gereja masa kini akan tugasnya yang semakin bertambah setiap harinya.
Banyak orang di sekitar gereja belum pernah mendengarkan berita Injil.
Bagaimana respon gereja melihat orang-orang tersebut? Adilkah jika seseorang
telah dua kali mendengar Injil sedangkan orang lain belum pernah sekali pun mendengarkannya? [4]
(pertanyaan yang kedua penulis kutip dari salah satu judul yang diberikan oleh
Smith dalam dalam salah satu bab dalam bukunya yang berjudul “Merindukan Jiwa
Yang Tersesat”).
Gereja sebagai penerima Amanat Agung bertanggung jawab penuh untuk memberitakan kabar baik kepada orang-orang yang belum selamat. Gereja haruslah menyikapi tugas tanggung jawabnya dalam satu tindakan yang dimulai dari masyarakat di sekitarnya. Hamilton berkata: “Anda tidak mungkin dapat menjangkau seluruh dunia, tetapi mulailah dari tempat di mana Anda (gereja) saat ini.[5] Pendapat ini mengingatkan gereja agar tidak berpikir jauh lebih tinggi dari yang dapat dilakukannya sebelum ia menjangkau seluruh dunia. Pendapat Hamilton ini diteguhkan oleh Alkitab yang mencatatkan bahwa di mana pun Yesus berada, Ia selalu mencari orang-orang yang terhilang, dan Ia berbelas kasihan terhadap mereka
.
Gereja sebagai penerima dan sekaligus pelaksana Amanat Agung ia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di sekitarnya, karena masyarakat adalah objeknya. [6] Sebelum melaksanakan tugas ini di antara masyarakat yang adalah objeknya, perlu difahami bahwa objek tersebut adalah pribadi yang mempunyai emosi, dapat berpikir dan dapat berubah. Oleh karena itu, berdasarkan tujuan dari tugas yang diterimanya, gereja jangan melihat objeknya secara subjektif, tetapi haruslah secara objektif. Dengan cara memandang yang objektif, gereja dapat memahami objek tersebut secara utuh, dan dapat menemukan bentuk penginjilan yang lebih tepat untuk masyarakat di sekitarnya.
Alkitab menjelaskan tentang metode yang dipakai oleh Tuhan Yesus dalam menyampaikan Injil kepada anggota masyarakat dunia ini. Alkitab mencatat pemahaman Tuhan Yesus tentang apa dan siapa objek yang sedang dihadapi-Nya. Keotentikan dari pemahaman Tuhan Yesus akan objek tersebut tersirat dari hal kedatangan-Nya ke dunia ini. Pertama-tama Yesus datang ke dunia ini dalam rupa manusia, lahir di antara manusia, berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar-Nya dengan menggunakan bahasa komunikasi yang dapat difahami oleh masyarakat di sekitar-Nya.
Halim dalam salah satu bukunya (tidak dipublikasikan)
yang berjudul “Model-model Pelayanan Yesus” mengangkat model-model penginjilan yang
dipakai oleh Yesus pada waktu penginjilan kepada masyarakat di sekitar-Nya.
Model atau metode yang Yesus untuk menginjili masyarakat di sekitar-Nya lahir dari
pemahaman-Nya tentang siapa dan apa objek yang dihadapi-Nya. Dari model-model penginjilan
Yesus yang di sampaikan oleh Halim, gereja dalam menyikapi tugasnya:
1. Tidak dapat menjadikan satu metode penginjilan
sebagai satu-satunya standar
pada
waktu melakukan tugas penginjilan di antara masyarakat di sekitarnya. Halim
mencatat bahwa Yesus menggunakan model pendekatan yang berbeda-beda kepada
orang-orang berdosa yang hidup pada masa itu. Yesus memakai model penginjilan
yang paling tepat kepada setiap objek-Nya.
2. Jangan menunggu sampai masyarakat di
sekitarnya merespon Injil secara positip, tetapi gereja harus aktif untuk
menemukan model penginjilan yang paling tepat kepada mereka.
3. Tidak akan pernah mengetahui bagaimana
pemahaman masyarakat tentang Injil sampai gereja mengadakan komunikasi dengan
masyarakat tersebut. Yesus seringkali mangambil inisiatif untuk bertemu dengan
masyarakat di sekitar-Nya. Hasilnya, Tuhan Yesus menemukan jembatan yang
inovatif untuk menyampaikan Injil.
4. Harus memiliki kepekaan melihat kebutuhan
dari masyarakat di sekitarnya. Halim mencatat bahwa Yesus, dalam masa-masa
penginjilan selama tiga setengah tahun sering kali memenuhi kebutuhan jasmaniah
dari objeknya seperti kesembuhan dari penyakit, makanan untuk 5000 orang dan
sebagainya.
Tuhan Yesus berkata
kepada gereja-Nya: “Lihat Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah
serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti
merpati (Matius 10:16).” Pernyataan ini merupakan awasan bagi gereja dalam
melaksanakan tugasnya.
Kata “serigala” merupakan simbol kebuasan,
mahluk yang selalu agresif menyerang untuk mengatasi rasa laparnya.[7] Penginjilan
di tengah masyarakat yang bersikap seperti mahluk buas ini, gereja harus “cerdik seperti ular” artinya (1)
cepat mengerti tentang situasi, dan pandai mencari pemecahan masalahnya,
panjang akal, dan (2) banyak akal[8]
dalam menghadapinya, tetapi juga harus “tulus.” Kata “tulus” artinya ikhlas,
sungguh dan bersih hati (benar-benar terbit dari hati yang suci, jujur, tidak
pura-pura, dan tidak serong).[9]
Dalam menghadapi masyarakat di sekitar gereja, Yesus menekankan agar gereja
memberitakan Injil-Nya dengan cara-cara yang tepat, dan dilakukan dengan kesungguhan
hati.
Dalam nats yang lain, Tuhan
Yesus mengatakan bahwa setiap orang percaya (gereja-Nya) adalah “garam” dan “terang”
bagi dunia (Matius 5: 14-16). Esmarch dalam buku “The World Book Encyclopedia”
mencatat bahwa ditinjau dari sisi
kedokteran, “Garam adalah penting untuk kesehatan. Sel badan harus mempunyai
garam untuk dapat hidup dan bekerja.”[10] Dan
dari sisi dunia Alkitab, Esmarch mengemukakan:
Garam memiliki arti keagamaan, yaitu
sebagai lambang kemurnian dan kesucian hati. Di antara orang-orang Yahudi, menurut
tradisi agama, garam digunakan untuk menggosok seorang bayi yang baru lahir
untuk memastikan kesehatannya. Garam juga digunakan sebagai tanda penghormatan,
persahabatan, dan keramahan atau kesediaan untuk menerima orang lain,[11]
Harrison juga berpendapat bahwa “garam” merupakan alat
pengawet dan juga berguna untuk bumbu makanan.[12]
Kata
“terang” dalam bahasa Yunani adalah “kaio” artinya kindle, burn, dan burn up.[13]
Menurut Balz dan Schneider kata “kaio” tersebut tidak hanya sekedar
menyinari, tetapi sinar itu harus membakar.[14] Gereja
sebagai pemberita Injil harus menggunakan kekuatan yang ada padanya untuk
mengalahkan kegelapan (satu simbol yang digunakan untuk dosa) yang menguasai hidup masyarakat di sekitarnya.
Berdasarkan
kedua penjelasan dari kitab Matius 5:
14-16 di atas, gereja sebagai garam dan terang dunia akan dapat menyatakan
eksistensinya kepada masyarakat di sekitarnya apabila:
1. Gereja
dapat menyadari akan keberbedaan dirinya dengan masyarakat dunia ini.
2. Gereja
dapat menunjukkan keberbedaannya dengan masyarakat dunia ini.
3. Gereja
jangan hanya menjadi pembicara yang baik, tetapi juga hidup dalam kuasa Injil
(Matius 23).
Alkitab mencatat bahwa Yesus tidak hanya berbicara, tetapi
juga melakukan Injil itu. Artinya bahwa Yesus dapat membuktikan diri-Nya sebagai
terang dunia ini.
Contoh dan teladan kehidupan dari Yesus seharusnyalah diikuti
oleh gereja. Yesus mengatakan: “Apabila gereja mengasihi Dia, maka gereja akan
menuruti segala perintah-Nya” (Yoh 14: 15). Dan apabila gereja mau mempercayai
Dia, maka gereja akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada
yang Dia telah perbuat dan kerjakan (Yoh 14:12), termasuk mengalahkan penguasa
kegelapan yang selama ini menguasai serta membutakan hati nurani setiap orang dari
kebenaran kuasa Injil yang memerdekakan orang-orang dari kuasa dosa. Kesesuaian
antara keberadaan gereja dengan perkataan dan perbuataanya menjadikan gereja
menjadi gereja yang memiliki kuasa untuk menyadarkan masyarakat di sekitarnya akan keberadaannya
yang berdosa serta akibat-akibatnya.
[1]
John Stot, Satu Umat, p. 10.
[2]
Ibid, p. 11.
[3]
Robert & Evelyn Bolton, Menyampaikan
Kabar Baik. (Malang:
Penerbit Gandum Mas, 1985), p.17.
[4]
Oswald Smith, Merindukan Jiwa Yang
Tersesat, (Surabaya: Yakin), p. 29.
[5]
Michael Hamilton, God’s Plan For The
Church Growth!, (Springfield: Gospel Publishing House, 1981), p. 51.
[6]
Peter Wongso, Tugas Gereja Dan Misi Masa
Kini, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1996), p.129.
[7]
Suhandi Susantio, Misiologi, Studi Misi
Lintas Agama, Diktat Sekolah Tinggi
Teologia Ekklesia, April-Mei 2005), p. 59.
[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia, p. 164.
[9]
Ibid, p. 968.
[10] The World Book Encyclopedia S-Sn (Volume 17).
Ed. S.v. “Salt” by Esmarch S. Gilreath. (Toronto: Field Enterprises Educational
Corporation, 1974), p. 68.
[11]
Ibid, p. 71.
[12] Ensiklopedia Alkitab Masa Kini (Jilid 1),
ed. S.v. “Garam”, by. R.K. Harrison, p. 327.
[13]
Horst Balz &Gerhard Schneider, Exegetical
Dictionary Of The New Testament (Volume 2), (Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company Grand Rapids, 1991; reprint ed. , 2000), p. 236.
[14]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar